REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada masa lampau, penyebaran Islam di nusantara tidak hanya terpaku di daerah Sumatra dan Jawa. Islam juga berkembang di luar kedua daerah tersebut, yakni di Indonesia bagian timur.
Setidaknya terdapat empat kerajaan Islam di Indonesia timur pada masa silam, yakni Jailolo, Tidore, Ternate, dan Bacan. Kesultanan Bacan merupakan salah satu yang mempunyai pengaruh cukup siginifikan dalam penyebaran Islam di timur Indonesia, khususnya di Papua.
Memang belum terlalu banyak referensi atau sumber pustaka yang menjelaskan sejarah Kesultanan Bacan. Secara umum yang diketahui tentang Kesultanan Bacan adalah bahwa raja mereka, yakni Zainulabidin, merupakan raja pertama yang bersyahadat dan memeluk Islam. Peristiwa tersebut diperkirakan terjadi sekitar tahun 1521.
Kedudukan awal Kesultanan Bacan bermula di Makian Timur, kemudian dipindahkan ke Kasiruta lantaran ancaman gunung berapi Kie Besi. Kebanyakan rakyat Bacan adalah orang Makian yang ikut dalam evakuasi bersama rajanya. Menurut perkiraan, Kesultanan Bacan didirikan pada 1322. Kendati demikian, memang belum terlalu jelas bagaimana proses pembentukannya. Lahirnya Kesultanan Bacan diperkirakan sama seperti kerajaan-kerajaan lainnya di Maluku, yakni bermula dari pemukiman yang kemudian membesar dan tumbuh menjadi kerajaan.
Raja pertama Bacan, menurut hikayat Bacan, adalah Said Muhammad Bakir, atau Said Husin, yang berkuasa di Gunung Makian dengan gelar Maharaja Yang Bertakhta Kerajaan Moloku Astana Bacan, Negeri Komala Besi Limau Dolik. Raja pertama ini berkuasa selama 10 tahun dan meninggal di Makian. Pada 1343, bertakhta di Kesultanan Bacan, Kolano Sida Hasan. Dengan bekerja sama dengan Tidore, Sida Hasan berhasil merebut kembali Pulau Makian dan beberapa desa di sekitar Pulau Bacan dari tangan Raja Ternate, Tulu Malamo.
Ketika Portugis tiba di Maluku sekitar tahun 1512, Bacan merupakan satu dari empat kerajaan besar yang ada di Maluku. Dalam jajaran kesultanan Maluku, Bacan merupakan satu-satunya kesultanan yang berpenduduk heterogen. Sejak evakuasi kesultanan ini dari Makian, penduduk Bacan terdiri atas berbagai suku, terutama suku Makian, Galela, dan Tobelo.
Sebagai salah satu kerajaan besar di Maluku, tak heran bahwa Kesultanan Bacan memilki teritorial kekuasaan yang cukup luas. Bahkan Papua, terutama daerah Papua Barat, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kekuasaan Kesultanan Bacan. Oleh sebab itu, masuknya Islam ke tanah Papua, sedikit banyak melibatkan peran Kesultanan Bacan di dalamnya.
Memang terdapat beberapa versi cerita tentang hadirnya Islam di Papua. Salah satunya menyebut bahwa Islam di Papua lahir karena peran Samudera Pasai. Pada 1224 disebutkan bahwa Kesultanan Samudera Pasai mengirim Tuan Syekh Iskandar Syah untuk berdakwah di Nuu War (Papua).
Kala itu Syekh Iskandar membawa beberapa kitab, yakni mushaf Alquran, kitab hadis, kitab tauhid, dan kitab kumpulan doa. Namun, anggapan ini masih menjadi perdebatan. Karena, abad ke-13 merupakan masa-masa awal Kesultanan Samudera Pasai. Dan, pada masa itu diperkirakan jangkauan dakwah Samudera Pasai masih mencakup daerah Sumatra saja.
Ada pula yang menyebut bahwa masuknya Islam ke Papua merupakan jasa seorang sufi bernama Syarif Muaz al Qathan (Syekh Jubah Biru) dari Yaman yang terjadi sekitar abad ke-16. Hal ini sesuai dengan adanya Masjid Tunasgain yang dibangun sekitar tahun 1587. Informasi lain menyebut, Syekh Jubah Biru datang pada 1420 M. Kendati masih ada beberapa perkiraan lainnya, pendapat yang lebih kuat perihal masuknya Islam ke Papua adalah karena peran Kesultanan Bacan. Syiar Islam yang dilakukan Kesultanan Bacan salah satunya terfokus di daerah Raja Ampat.
Terbentuknya Kolano Fat (Raja Ampat atau Raja Empat dalam bahasa Melayu) di Kepulauan Raja Ampat oleh Kesultanan Bacan, dapat dilihat dari nama-nama gelar di kepulauan tersebut. Pertama, Kaicil Patra War, bergelar Komalo Gurabesi (Kapita Gurabesi) di Pulau Waigeo. Kemudian Kaicil Patra War bergelar Kapas Lolo di Pulau Salawati. Lalu, Kaicil Patra Mustari bergelar Komalo Nagi di Misool. Terakhir Kaicil Boki Lima Tera bergelar Komalo Boki Sailia di Pulau Seram. Isitilah "Kaicil" adalah gelar anak laki-laki sultan Maluku. Menariknya, nama Pulau Salawati menurut tutur lisan masyarakat setempat, diambil dari kata "Salawat".
Selain itu, terdapat beberapa nama tempat yang merupakan pemberian sultan Bacan. Misalnya, Pulau Saunek Mounde (buang sauh di depan), Teminanbuan (tebing dan air terbuang), War Samdin (air sembahyang), dan War Zum-zum (penguasa atas sumur). Nama-nama tersebut merupakan bukti peninggalan nama-nama tempat dan keturunan raja Bacan yang menjadi raja-raja Islam di Kepulauan Raja Ampat.
Kemungkinan Kesultanan Bacan menyebarkan Islam di Papua sekitar pertengahan abad ke-15. Pada abad ke-16, terbentuklah kerajaan-kerajaan kecil di Kepulauan Raja Ampat, setelah para pemimpin-pemimpin Papua di kepulauan tersebut mengunjungi Kesultanan Bacan tahun 1596.
Pendapat ini didukung pula oleh catatan sejarah Kesultanan Tidore, yakni "Museum Memorial Kesultanan Tidore Sinyine Malige". Dalam catatan tersebut diterangkan Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X) melakukan ekspedisi ke Papua dengan satu armada kora-kora. Ekspedisi ini menyusuri Pulau Waieo, Batanta, Salawati, Misool di Kepulauan Raja Ampat.
Di wilayah Misool, Sultan Ibnu Mansur yang sering disebut Sultan Papua I, mengangkat Kaicil Patra War, putra Sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi. Kacili Patra War kemudian dinikahkan dengan putri Sultan Ibnu Mansur, yaitu Boki Thayyibah. Dari penikahan inilah Kesultanan Tidore memperluas pengaruhnya hingga ke Raja Ampat, bahkan hingga Biak.
Rangkaian peristiwa sejarah tersebut menjadi semacam bukti bahwa penyebaran Islam di nusantara memang tidak hanya terfokus di Sumatra dan Jawa. Kesultanan Bacan merupakan pionir penyebaran Islam di bumi timur Indonesia, yakni Papua dan sekitarnya.