Senin 16 Jan 2017 13:00 WIB

Mengutip Biaya Jasa Simpan untuk Gadai, Bolehkah?

Rep: A Syalaby Ichsan/ Red: Agung Sasongko
gadai emas (ilustrasi).
Foto: Antara
gadai emas (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Menggadaikan barang salah satu bentuk aktivitas ekonomi untuk mendapatkan peminjaman darurat. Dengan "menyerahkan" aset berupa emas, tanah, atau barang elektronik, nasabah bisa mendapatkan pinjaman uang kas dengan cepat dalam waktu pengembalian yang ditentukan.

Di Indonesia minat orang yang menggadaikan barang pun kian meningkat. Sebagai contoh, Perum Pegadaian mencatat pada semester 1 2016, ada 6,92 juta nasabah yang meminjam uang. Omzet pinjaman yang disalurkan naik sebesar Rp 2,28 triliun dari Rp 57,14 triliun menjadi Rp 59,42 triliun.

Menggadaikan barang ternyata juga sudah tercantum dalam Alquran dan hadis. Firman Allah SWT QS al-Baqarah [2]:283 mengungkapkan, "Dan apabila kamu dalam perjalanan (dan tidak bermuamalah secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang juru tulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kalian memercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah kalian (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan."

Quraish Shihab dalam tafsir Al Misbah menjelaskan, ayat tersebut merupakan dalil yang membolehkan praktik gadai. Adanya perjalanan dalam awal ayat dinilai bukan menjadi sebuah syarat. Perjalanan disebutkan karena pada zaman itu para mufasir sering kali meminjam uang untuk biaya perjalanannya.

Dalam kitab Shihahihain, Bukhari-Muslim pun menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi dengan pinjaman 30 wasaq jewawut. Nabi menggadaikannya untuk makan keluarganya. Quraish Shihab menjelaskan, praktik gadai yang dilakukan bukan saat Nabi sedang berada dalam perjalanan, melainkan saat Rasulullah berada di Madinah.

Hanya, pada era sekarang, pegadaian konvensional menetapkan biaya administrasi dan bunga yang dikutip dari nasabah. Tambahan biaya tersebut diambil dari persentase utang yang dipinjam nasabah. Nilainya pun biasanya kian besar. Pada awalnya, barang yang dibawa nasabah akan ditaksir harganya lantas diputuskan jumlah yang bisa dipinjam. Uang yang dipinjam nasabah lalu dikenakan bunga sesuai dengan lama masa pinjaman. Misalnya 1,15 persen per dua pekan, 2/3 persen/bulan kemudian membengkak lagi jika baru dikembalikan 45 hari dan seterusnya.

Masa penitipan gadai ini selama empat bulan bisa diperpanjang dengan membayar biaya sewa modal. Pinjaman ini diberlakukan tanggal jatuh tempo saat pinjaman tersebut harus dilunasi. Pihak pegadaian konvensional kemudian menetapkan persyaratan bila tidak melunasi pinjaman beserta bunganya. Barang jaminan akan dilelang kepada siapa pun hingga tanggal tertentu.

Bagaimana dengan gadai berskema syariah? Gadai berbasis syariah memang tidak memberlakukan sistem bunga. Pihak pegadaian tidak mengambil keuntungan dari sistem bunga pinjaman ataupun sistem bagi hasil. Pegadaian syariah mengambil keuntungan dari upah jasa pemeliharaan barang jaminan.

Bagaimana penetapan biaya jasa pemeliharaan barang yang digadaikan?

Dikutip dari laman resmi Pegadaian Syariah, besarnya pinjaman dan biaya pemeliharaan ditetapkan berdasarkan taksiran barang yang digadaikan. Jika barang tersebut adalah emas, penaksir memperhitungkan karatase emas, volume, serta berat emas yang digadaikan.  Biaya yang dikenakan merupakan biaya penitipan barang, bukan biaya atas pinjaman karena pinjaman yang mengambil untung itu tidak diperbolehkan.

Biaya penitipan barang jaminan meliputi biaya penjagaan, penggantian kehilangan, asuransi, gudang penyimpanan, dan pengelolaan. Besarannya bertambah sesuai dengan lama barang yang digadaikan. Bedanya dengan konvensional, biaya jasa simpan tersebut tetap setiap bulan. Jika jasa simpan per bulan Rp 50 ribu, jasa simpan bulan berikutnya menjadi Rp 100 ribu.

Fatwa Keuangan Syariah Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan, penerima barang atau peminjam uang disebut murtahin, barang yang diserahkan disebut marhun, sementara rahin merupakan pihak yang menyerahkan barangnya atau pengutang. Murtahin memiliki hak untuk menahan barang sampai rahin melunaskan semua utangnya.

Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Marhun tidak boleh dimanfaatkan murtahin kecuali seizin rahin dengan tidak mengurangi nilai marhun. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya tetap menjadi kewajiban rahin. Meski demikian, dapat dilakukan murtahin dengan jalan rahin membayar biaya jasa pemeliharaan dan penyimpanan kepada murtahin. Hanya, MUI memberi catatan bahwa besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

Fatwa DSN MUI juga menjelaskan, pada dasarnya akad gadai emas syariah adalah qard (peminjaman). Orang yang meminjam uang agar disetujui kemudian menjaminkan barangnya berupa emas kepada murtahin (pihak yang menerima agunan). Adanya penitipan agunan tersebut oleh murtahin menimbulkan ijarah/sewa/biaya yang diberikan oleh nasabah sebagai rahin (pihak yang menyerahkan agunan).

Dengan demikian, catatan penting dari MUI adalah hakikat dari fungsi pegadaian dalam Islam tersebut. Gadai, khususnya yang berskema syariah, seharusnya semata-mata untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan dalam bentuk barang sebagai jaminan. Pegadaian bukan untuk kepentingan komersial dengan mengambil keuntungan sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kemampuan orang lain. Wallahu a'lam.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement