REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin meminta, sikap menolak kedatangan seseorang karena alasan perbedaan agar tidak diteruskan. Menurutnya, hal itu bisa menjadi ancaman yang bermuara pada perpecahan.
"Saling penolakan di antara kita dengan alasan perbedaan kalau diteruskan, maka ancamannya sebagai sebuah bangsa kita akan terpecah belah dan semakin lemah," ujar Menag di hadapan lebih dari sepuluh ribu masyarakat dan santri Pondok Pesantren Bugen Al Itqan, Semarang, Ahad (15/1).
Hal ini disampaikan Menag Lukman menyusul terjadinya penolakan kedatangan salah satu tokoh agama di Kalimantan Barat. Dia mengajak, semua pihak untuk saling menghormati perbedaan guna menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
"Uni Sovyet sampai tahun 80-an adalah negara adidaya yang sangat kuat hampir dalam semua hal. Tidak ada yang membayangkan sebelumnya, kondisinya bisa seperti sekarang terpecah jadi beberapa negara karena tidak mampu menjaga persatuan," ujarnya.
Menurut Lukman, pendiri bangsa telah mewariskan Indonesia sebagai negara yang sangat religius dengan ajaran Islam rahmatan lil alamin. Maka, menjadi kewajiban penerus bangsa saat ini untuk menjaga dan mengembangkannya agar tetap terjaga bagi generasi mendatang
Tantangan bangsa saat ini, kata Lukman, adalah bagaimana kebersamaan bisa dirawat dengan baik. Apalagi, masyarakat sekarang berada pada era global dan digital. Globalisasi menjadikan sekat dan batas wilayah yang tidak kaku lagi karena semua orang telah menjadi warga dunia. Sementara era digital, telah mengubah pola kehidupan masyarakat, bahkan tentang cara pandang dan nilai yang dianut.
Dahulu, kata Menag, orang mendapat nilai kebajikan dan nilai agama dari orang tua dan guru. Dua orang ini yang memberi pengetahuan tentang baik dan salah, kebenaran dan keburukan. Mereka juga yang memilah dan memilih mana yang perlu disampaikan dan yang belum. Mereka juga menjadi mediator yang memberikan penjelasan jika ada keraguan terhadap hal yang disampaikan
"Sekarang, anak cucu kita tidak lagi menjadikan orang tua dan guru sebagai satu-satunya sumber informasi dan kebajikan. Mereka lebih banyak mendapatkan semua itu dari gadget dan hp. Ini lalu mempengaruhi cara hidup kita semua," tutur dia.
Menag mengajak, para santri dan masyarakat untuk berhati hati dalam menggunakan teknologi informasi. Menurutnya, era digital dan media sosial tidak bisa dihindari. Namun demikian, masyarakat harus arif dalam menggunakannya.
"Kita harus menjadi orang yang mampu menilai apakah sebuah berita patut disebarkan atau tidak. Kalau kita tidak tahu apa manfaat menyebar berita itu, maka jangan disebar. Kita berharap aura positif di tengah masyarakat kita itu yang lebih mewarnai, bukan saling memfitnah, mencaci maki dan seterusnya," katanya.