REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) kembali mengecam Gubernur DKI nonaktif Basuki T Puranama (Ahok) terkait dengan kasus reklamasi. Kecaman itu menyusul diterbitkannya Peraturan Gubernur DKI Nomor 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, Pulau D, dan Pulau E Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (Pergub PRK Pulau C, D, dan E) oleh Ahok pada 26 Oktober lalu.
Salah satu anggota KSTJ, Tigor Hutapea mengatakan, penerbitan pergub itu telah melanggar hukum dan menyalahi etika pemerintahan. Hal ini karena, pergub tersebut dikeluarkan Ahok secara sepihak, tanpa adanya proses partisipasi warga maupun organisasi yang berkepentingan terhadap perlindungan lingkungan.
"Penerbitan Pergub PRK Pulau C, D, dan E ini dilakukan secara diam-diam, tidak transparan, dan sangat tidak bertanggung jawab," kata Tigor kepada wartawan di Jakarta, Senin (16/1).
Dia menuturkan, Pergub DKI No 206/2016 menyalahi aturan, karena diterbitkan di saat status proyek reklamasi Teluk Jakarta masih berada dalam moratorium oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Moratorium itu adalah sanksi yang dijatuhkan pemerintah pusat kepada para pengembang reklamasi atas pelanggaran yang mereka perbuat sebelumnya.
Di samping itu, kata Tigor, Pergub DKI No 206/2016 juga bertentangan dengan rekomendasi dari kajian yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), khususnya terkait dengan pembangunan Pulau E. Ini karena, instansi pimpinan Menteri Susi Pudjiastuti itu sebelumnya telah memerintahkan kepada Pemprov DKI dan para pengembang untuk menghentikan pembangunan pulau reklamasi yang belum terbangun.
"Kami baru mengetahui adanya pergub ini sepekan yang lalu, dan kami menilai aturan ini diterbitkan hanya untuk menguntungkan para pengembang semata, bukan untuk kepentingan rakyat banyak," ujarnya.
Anggota KSTJ lainnya, Nelson Simamora mengatakan, Pergub PRK Pulau C, D, dan E yang dikeluarkan Ahok dua hari sebelum cuti kampanye Pilkada DKI 2017 itu juga bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Pergub tersebut dibuat tanpa dasar hukum yang semestinya menjadi acuan, yaitu Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Perda Zonasi).
"Sebelum menerbitkan beleid (Pergub DKI No 206/2016) ini, Pemprov DKI harus punya Perda Zonasi terlebih dulu. Tapi, tahapan ini malah dipangkas secara sepihak oleh Ahok, karena Rancangan Perda Zonasi DKI sendiri sampai saat ini belum lagi disahkan oleh DPRD," ujar Nelson.
Menurut Nelson, tindakan Ahok menerbitkan Pergub PRK Pulau C, D, dan E dengan cara melangkahi prosedur itu sangatlah tidak pantas. Sebagai seorang gubernur, Ahok seharusnya mengerti bagaimana menjalankan tata kelola pemerintahan dengan baik. "Kehadiran pergub ini semakin menunjukkan arogansi Ahok sebagai kepala daerah," ujarnya.