REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, bersifat antisipatif bagi siapapun yang berniat menyimpangkan ajaran agama. Keberadaan UU ini untuk memelihara kerukunan ummat beragama.
"Itu harus betul-betul dimaknai bahwa undang-undang itu justru dalam rangka, sebenarnya, untuk bagaimana agar masing-masing ajaran agama, khususnya yang terkait dengan pokok-pokok atau isi pokok dari ajaran agama itu, tidak lalu kemudian disimpangi oleh siapapun juga," kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta usai menemui Presiden Joko Widodo pada Selasa (17/1).
Menurut Lukman, penyimpangan yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab rentan menimbulkan kerawanan sosial yang dapat mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa. Kata dia, undang-undang tersebut agar dijalankan secara semestinya sehingga dapat memelihara kerukunan umat beragama.
Lukman mengatakan, munculnya undang-undang tersebut lebih dikarenakan keadaan pada tahun 1965 dimana banyak personal yang mengaku tokoh agama dan menyebarluaskan ajaran yang justru bertolak belakang dengan nilai-nilai agama itu sendiri. "Jadi sebenarnya undang-undang itu lahir untuk menjaga agar prinsip-prinsip dasar, pokok-pokok ajaran agama tentu tidak boleh dinista atau dinodai oleh siapapun juga dan itu harus dijaga," kata Menteri.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi juga pernah menguji materi undang-undang tersebut pada 2009 dan memutuskan undang-undang tersebut masih relevan. Menteri Agama menemui presiden dalam rangka membahas pendidikan keagamaan dan penerapan nilai-nilai bhinneka tunggal ika.