Selasa 17 Jan 2017 21:03 WIB

Komnas HAM: Situs Dituduh Hoax Harus Diuji Publik Sebelum Diblokir

Rep: Amri Amrullah/ Red: Ilham
Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Peristiwa Bentrok TNI AU dan Warga Desa Sarirejo kepada Komnas HAM Natalius Pigai menjelaskan hasil penyelidikan di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (29/8).
Foto: Antara/ Widodo S. Jusuf
Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Peristiwa Bentrok TNI AU dan Warga Desa Sarirejo kepada Komnas HAM Natalius Pigai menjelaskan hasil penyelidikan di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (29/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komnas HAM, Natalius Pigai, mengkritik sikap pemerintah yang memblokir secara sepihak 11 situs Islam yang dituduh menyebarkan berita hoax dan bohong. Natalius mempertanyakan kewenangan pemerintah yang langsung memblokir ke-11 situs tersebut dan 300-an situs lain yang dituduh SARA serta menyebar kebencian, padahal belum dilakukan uji publik.

"Karena situs yang dituduh SARA atau menyebarkan berita hoax itu perlu diuji publik dulu di masyarakat sebelum diblokir. Maka pemerintah tdak bisa semena-mena langsung memblokir," ujarnya dalam acara diskusi di ILC, Selasa (17/1), malam.

Apalagi dalam sistem hukum (criminal justice system) keputusan bersalah itu ada di pengadilan, dan pemeritah tidak bisa sepihak bertindak. Apalagi bila melihat pendapat PBB soal penggunaan internet, itu adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM).

Di Indonesia, kata dia, ada hak kebebasan pers dan menyampaikan pendapat yang dijamin undang-undang (UU). "Kebebasan itu harus dilestarikan maka sangat pas bila Komnas HAM masih menyanksikan UU ITE, karena bertentangan dengan UU kebebasan pers dan kebebasan menyampaikan pendapat," kata dia.

Ia menyadari dalam HAM pun memang di bagi dua pemahaman. HAM yang bisa dibatasi atau tidak bisa dibatasi. Penyampaian pendapat bisa dibatasi, tapi terbatas pada melanggar etika dan moral bangsa.

Kalau soal itu, 90 persen situs pornografi yang diblokir pemerintah bisa dipahami. Tapi masalahnya dengan 300-an situs hingga 2016 yang diblokir soal kebebasan berpendapat.

"Masalahnya kalau kita mengkritik presiden, apakah itu merusak moralitas dan integritas nasional? Jadi kalau kritik kepada pemerintah bukan dikategorikan merusak moral dan integritas bangsa," kata Natalius.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement