REPUBLIKA.CO.ID, BANJUL -- Presiden Gambia, Yahya Jammeh, mengumumkan status darurat negaranya, pada Selasa (17/1). Hal itu dilakukan setelah ia menolak untuk menyerahkan kekuasaan kepada pemimpin oposisi Adama Barrow, yang memenangkan pemilu bulan lalu.
"Aku ... dengan ini menyatakan status darurat publik di seluruh Republik Islam Gambia," kata Jammeh.
Televisi negara mengatakan, status darurat akan mengizinkan kekosongan kekuasaan negara diisi sementara oleh Mahkamah Agung, sementara Jammeh masih menantang hasil pemilu. Jammeh secara resmi masih berkuasa di Gambia hingga Kamis (19/1), waktu Barrow akan dilantik sebagai presiden.
Jammeh mengambil alih kekuasaan di Gambia dalam kudeta pada 1994 dan menjadi presiden kedua setelah Gambia memperoleh kemerdekaan pada 1965. Pemerintahannya memiliki reputasi buruk karena kerap menyiksa dan membunuh lawan. Namun, pada 2015, ia menyatakan negaranya adalah Republik Islam.
Hakim Agung Gambia telah menolak petisi cabut hasil pemilu yang digagas Jammeh. Para pejabat dalam pemerintahan Jammeh mulai mengundurkan diri, seperti pejabat Menteri Keuangan, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Perdagangan dan Lingkungan hidup.
Aktivis pro-demokrasi di seluruh Afrika menyambut kekalahannya dalam pemilu. Akan tetapi, penolakannya untuk mundur telah menimbulkan krisis internal di antara para pemimpin kawasan. Sejumlah pimpinan di kawasan mengancam akan melakukan intervensi militer jika Jammeh tidak segera mundur dari jabatannya. Nigeria dan negara-negara Afrika Barat lainnya sedang menyiapkan kekuatan militer.
Sumber dari Nigeria mengatakan, kepala staf pertahanan negara-negara Afrika Barat telah bertemu pada Senin (16/1), untuk membahas strategi menurunkan Jammeh. "Beberapa negara Afrika Barat akan memberikan kontribusi pasukan, termasuk Nigeria, untuk melakukan operasi. PBB dan Uni Afrika telah menawarkan dukungan ECOWAS untuk melakukan rencana tersebut," kata sumber itu.
Ratusan warga Gambia telah melarikan diri ke Senegal, karena takut akan keselamatan mereka. Otoritas Senegal juga telah meningkatkan keamanan. "Kami takut. Ada tentara dengan senjata sepanjang waktu," kata Awa Sanneh (25 tahun), yang kabur dari Birkama, Gambia.