REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Otoritas dominan Palestina (PA) Fatah telah setuju untuk membentuk pemerintah persatuan dengan organisasi saingan Hamas. Hal itu dilaporkan oleh Aljazirah pada Rabu (18/1) waktu setempat.
Kesepakatan itu dicapai pada Selasa (17/1) setelah proses negosiasi selama tiga hari di ibu kota Rusia, Moskow. Kedua organisasi akan membentuk Dewan Nasional yang baru, yang akan mencakup warga Palestina di pengasingan, dan akan mengadakan pemilihan.
"Hari ini kondisi untuk (inisiatif tersebut) yang lebih baik dari sebelumnya," kata seorang pejabat senior Fatah Azzam al-Ahmad.
Kesepakatan itu juga mencakup kelompok Jihad Islam, yang tidak terlibat dalam negosiasi dalam waktu yang lama tersebut. Pemimpin partai Fatah Mahmoud Abbas dan Hamas telah berselisih sejak yang terakhir merebut Gaza dalam perang saudara pada 2007, setelah memenangkan pemilu legislatif 2006.
Tahun lalu Pemerintah Palestina menunda pemilihan kota pertama di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang diduduki dalam kurun waktu 10 tahun, setelah pengadilan tinggi memutuskan mereka harus diadakan hanya di Tepi Barat, yang dikendalikan Fatah. Terakhir kali rakyat Palestina menggelar pemilu baik Hamas dan Fatah mengambil bagian pada tahun 2006.
Para wakil Palestina juga bertemu pada Senin (16/1) dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, dan memintanya untuk mencegah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dari melaksanakan janji kampanye untuk memindahkan kedutaan besar AS di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Dalam wawancara dengan Aljazirah, Khaled Elgindy, seorang rekan senior Brookings Institute dan mantan penasihat negosiasi perdamaian, mengatakan, masih belum jelas bagaimana perbedaan perjanjian terbaru dengan penawaran sebelumnya.
"Faktor yang paling penting yaitu mendorong perjanjian persatuan adalah perubahan kepemimpinan di Washington DC," kata Elgindy.
"Presiden Abbas mungkin mencari untuk menopang posisi domestik, dan untuk melindungi diri dari apa yang ia lihat sebagai permusuhan yang besar dari Washington," ujarnya.
Reporter Aljazirah, Natasha Ghoneim, melaporkan dari Moskow mengatakan, perjanjian di Rusia merupakan sinyal Palestina untuk berpaling dari Amerika Serikat, yang telah terlibat dalam proses perdamaian selama beberapa dekade.
"Secara historis, diskusi perdamaian telah didominasi oleh AS. Mereka mencari pendekatan yang berbeda, dan Rusia pasti menawarkan pendekatan yang berbeda," katanya.