REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Hampir sepertiga warga Australia yang melaporkan telah menjadi korban pencurian identitas tahun lalu, adalah mereka yang berusia di atas 55 tahun. Laporan ini didapatkan berdasarkan situs Scamwatch, lembaga yang mengawasi tindak penipuan di bawah naungan pemerintah federal Australia.
Dari 12.730 laporan penipuan identitas yang masuk ke situs Scamwatch di tahun 2016, 1.649 orang adalah warga berusia 55 hingga 64 tahun, sementara jumlah laporan dari mereka yang berusia di atas usia 65 tahun adalah 2.328 orang.
Jumlah ini menunjukkan mereka yang berusia lebih dari 55 tahun paling sering dihubungi oleh scammer, atau penipu melalui telepon, email juga media sosial yang jumlahnya meningkat.
Komisaris Informasi Timothy Pilgrim mengatakan kantornya telah menerima peningkatan jumlah laporan yang signifikan dalam pencurian identitas. "Saat ini pencurian identitas dialami oleh masyarakat dari berbagai kalangan, tapi sebagian besar dialami oleh mereka yang berusia di atas 55 tahun," kata Timothy.
Selasa (17/01), ABC mengungkap kasus dari penipuan identitas yang terjadi saat dua pejabat serikat di bidang telekomunikasi ditukar ke perusahaan penyedian layanan telepon yang berbeda, tanpa sepengetahuan mereka. Setelah para penipu mencuri nomor telepon Lee Walkington dan Martin O'Nea, mereka kemudian mengakses rekening bank dan membuat kartu baru untuk menarik uang dan memesan belanja online.
Timothy mengatakan pihaknya menerima peningkatan laporan pencurian identitas hingga 18 persen pada akhir tahun finansial 2016 lalu. "Pencurian identitas bagi saya adalah salah satu aspek yang paling besar dari pelanggaran privasi seseorang dan dapat memiliki konsekuensi besar bagi individu," katanya.
"Ini disayangkan, karena kita melihat adanya peningkatan pencurian identitas di seluruh Australia. Situs Scamwatch telah melihat lebih dari 12.000 laporan penipuan dan masalah pencurian identitas selama 12 bulan terakhir, yang nilainya mencapai 500 ribu dolar AS atau sekitar Rp 5 miliar," katanya.
Penipu menggunakan informasi mudah didapat terhadap korban
Peneliti keamanan independen, Troy Hunt mengatakan pencurian identitas adalah hal umum yang terjadi. Kepada ABC ia mengatakan para scammer atau penipu, dapat menggunakan informasi publik yang tersedia untuk meretas rekening telepon seseorang.
"Kami melihat scammers menggunakan informasi yang mudah didapat untuk mencoba dan mengelabui organisasi manapun demi mendapatkan informasi lebih lanjut soal target korban mereka," katanya.
"Misalnya, saat Anda menelepon bank atau perusahaan penyedia layanan telepon yang Anda gunakan, atau perusahaan asuransi, mereka akan memverifikasi identitas Anda dengan menanyakan tanggal lahir Anda, yang kebanyakan orang cantumkan di jejaring sosial."
Menurut Troy menyeimbangkan antara kenyaman dan keamanan menjadi hal yang sulit bagi perusahaan besar. "Tantangan bagi perusahaan telekomunikasi dan organisasi manapun, adalah bagaimana meningkatkan keamanan disaat juga masih mudah digunakan oleh konsumennya," katanya.
"Sebagai contoh, perusahaan telekomunikasi bisa mengajukan lebih banyak informasi, mereka bisa mengirim surat ke alamat seseorang, tapi masalahnya tentu saja bagaimana mendapatkan respons dan hambatan menggunakannya. Jadi perusahaan telekomunikasi mencoba untuk menemukan hal yang tepat untuk membuat sistem dengan pendekatan yang mudah dan menjaga pelanggan agar tetap senang, dan tidak menjadi mengorbankan akun mereka."
Troy mengatakan warga harus waspada terhadap informasi yang mereka serahkan. "Sekarang ini, warga sangat sering berbagi hal-hal seperti tanggal lahir, pekerjaan, riwayat pendirikan di situs-situs yang meminta informasi tersebut," katanya.
"Risiko dari memberikan informasi yang sensitif soal ini adalah kemudian bisa tersebar dan dipakai para penipu untuk mendapatkan akses ke akun Anda yang lainnya," katanya.
Tips untuk menjaga informasi pribadi Anda agar aman, bisa didapatkan lewat situs Scamwatch.
Diterbitkan oleh Erwin Renaldi pada 18/01/2017 dari laporan berbahasa Inggris dan bisa dibaca disini.