REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Dua faksi terbesar di Palestina, Fatah dan Hamas akan membentuk pemerintah persatuan. Kesepakatan ini tercapai setelah proses negosiasi berlangsung selama tiga hari, tepatnya pada Ahad (15/1) lalu di Moskow, Rusia.
Fatah dan Hamas akan membentuk sebuah Dewan Nasional yang baru. Termasuk diantara para anggotanya nanti adalah warga Palestina yang berada di pengasingan.
Pemilihan untuk menentukan Dewan Nasional Palestina juga akan dilakukan. Kesepakatan kali ini juga tidak hanya melibatkan Fatah dan Hamas, namun juga sebuah kelompok jihad Islam yang sejak lama tidak terlibat dalam negosiasi antara dua faksi tersebut. "Kami telah mencapai kesepakatan dan insisiatif untuk melakukan hal ini jauh lebih baik dari sebelumnya," ujar seorang pejabat senior Fatah, Azzam Al Ahmad, dilansir Aljazirah, Rabu (18/1).
Dalam negosiasi ini, para perwakilan Palestina juga bertemu dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov. Mereka meminta agar negara itu mencegah rencana dari presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang hendak memindahkan kedutaan besar untuk Israel di Tel Aviv ke Yerusalem.
Masing-masing faksi juga sepakat untuk mempromosikan pemerintah persatuan ke seluruh anggota. Dalam waktu 48 jam ke depan, Presiden Palestina Mahmoud Abbad akan memulai konsultasi dalam pembentukan pemerintah baru yang bersatu ini.
Sementara itu, wakil ketua politik Hamas, Moussa Abu Marzouk juga mengatakan pemerintah persatuan adalah cara paling efektif untuk mengakhiri perbedaan antara dua faksi yang bertikai. Selama bertahun-tahun, solusi untuk memecahkan konflik dan divisi, tidak dapat tercipta karena berbagai hal. "Kami dari Hamas juga bertanggung jawab memberi solusi, termasuk dalam penyelenggaraan pemilu yang bebas dan demokratis di Tepi Barat dan Jalur Gaza," ujar Marzouk dilansir Harretz.
Konflik antara Fatah dan Hamas dimulai untuk pertama kalinya pada 2006 lalu. Perang saudara antara dua faksi terjadi, di mana pertikaian meruncing setelah Hamas memenangkan pemilihan legislatif.
Hamas kemudian menguasai Jalur Gaza. Sebelumnya, ketegangan antara Hamas dan Fatah meningkat pada 2005, tepatnya sejak kematian Presiden Palestina Yasser Arafat pada 11 November 2004.
Sejak 2006, tidak pernah dilakukan pemilihan umum di Palestina. Rencananya, pemilu kembali akan dilangsungkan tahun lalu di wilayah Tepi Barat. Namun, Otoritas Palestina yang didominasi oleh Fatah menunda hal ini.
Hampir tiga tahun yang lalu, tepatnya pada 2014 langkah rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas juga telah dilakukan. Kedua faksi sepakat bersatu dan Jalur Gaza diambil alih kembali oleh Otoritas Palestina.
Hamas saat itu juga menyetujui pembentukan negara Palestina sesuai dengan perbatasan 1967 lalu. Kemudian, kelompok itu menyetujui rencana Abbas dalam berbagai hal untuk mendorong pemerintahan Palestina bersatu.
Kemudian pemerintah konsensus nasional teknorat mulai beoperasi pada 2 Juni 2014. Namun, sekitar satu bulan setelahnya, kedua faksi kembali terpecah dengan adanya perang antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza.
Fatah dan Hamas saat itu disebut kembali ke titik awal, yaitu terpecah untuk membentuk sebuah pemerintahan Palestina yang bersatu. Masing-masing faksi juga saling tuding bahwa pelanggaran telah dilakukan.
Seperti Fatah menuduh Hamas menempatkan 300 anggota kelompoknya di bawah tanah. Hamas juga disebut mencuri bantuan yang ditujukan kepada rakyat sipil dan menjualnya sebagian di pasar gelap.