REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemiskinan telah menempa diri Rabiah Al-Adawwiyah. Ia tak berpaling dari Tuhannya. Kepapaan yang lekat pada dirinya tak memadamkan api cintanya kepada Allah SWT. Sebaliknya, ia selalu mendekat untuk menunaikan pengabdian yang tulus melalui gerak ibadah dan lantunan munajat yang tak berkesudahan.
Rabiah menjelma menjadi sosok perempuan yang menjadi teladan. Kedekatan dengan Allah membuat banyak orang ingin mencontohnya. Meski tak begitu lama, Rabiah mendapatkan pengajaran dari ayahnya yang juga seorang sufi. Ayahnya, selain dikenal sebagai ulama, juga selalu menyandarkan segalanya kepada Allah.
Sudah menjadi hal biasa jika tak ada minyak di rumah orang tua Rabiah untuk menyalakan lentera di kala malam. Suatu malam, ibunya meminta ayah Rabiah untuk meminjam minyak ke tetangga. Namun, pantang bagi ayahnya meminta pertolongan kepada siapa pun. Ia hanya berhasrat atas pertolongan dari Allah.
Maka, untuk sekadar menyenangkan hati istrinya, ayah Rabiah berpura-pura menyambangi rumah tetangga untuk meminjam sedikit minyak. Tentu saja, pada akhirnya, ia pulang dengan tangan hampa. Pada malam kelahiran Rabiah, ayahnya bermimpi dengan Nabi Muhammad.
Dalam mimpinya, sufi tersebut mendengar putrinya yang keempat itu bakal menjadi perempuan saleh. Sayang, ayah dan ibunya tak berkesempatan melihat Rabiah sebagai seorang perempuan sufi yang banyak dikagumi, baik karena begitu rajinnya beribadah maupun kedalaman ilmu yang dimilikinya.
Margaret Smith dalam Rabi’a: The Life & Work of Rabi’a and Other Women Mystics in Islam mengatakan, pada masa-masa awal kehidupannya, orang tua Rabiah mengembuskan napas terakhir. Lalu, Rabiah bersama saudara-saudara perempuannya hidup sebagai yatim piatu.
Menurut cendekiawan Farid al-Din Attar, setelah kematian ayahnya, bencana kelaparan membalut kota kelahiran Rabiah, Basra, Irak. Rabiah juga terpisah dengan saudara perempuannya. Sejumlah informasi mengungkapkan, Rabiah ikut sebuah karavan yang akhirnya dihadang perompak.
Ia kemudian dijadikan sebagai budak yang dijual di pasar budak oleh perompak itu. Ia akhirnya mendapatkan majikan baru. Kondisinya sebagai budak dengan setumpuk pekerjaan tak menghalanginya menjalin komunikasi dengan Tuhan. Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, ia menekuni ibadah.
Ia juga sering menjalani puasa. Di sebuah pertengahan malam, majikan Rabiah melihatnya khusyuk beribadah dan melantunkan doa. Dia mendengar Rabiah bermunajat. Rabiah ingin menjalankan semua perintah dan mengabdi dengan sepenuh hati kepada Allah SWT.
Dalam doanya, Rabiah bertekad melakukan ibadah pada siang dan malam. Maka itu, ia berharap terbebas dari belenggu perbudakan oleh manusia agar hanya menghamba kepada-Nya. Doa Rabiah menggetarkan sang majikan yang mendengarnya dan bertekad untuk membebaskannya.
Ia yakin Rabiah adalah sosok yang dekat dengan Tuhan. Ia bahkan bersedia untuk menjadi pelayannya. Keesokan harinya, majikan itu memanggil Rabiah dan melontarkan niatnya membebaskan Rabiah. Lalu, Rabiah menegaskan bahwa ia ingin meninggalkan rumah sang majikan untuk mendalami ilmu agamanya.
Rabiah sangat ingin berguru pada mereka yang memiliki berlimpah ilmu. Ia kemudian meninggalkan rumah itu dan berkelana di padang pasir. Bahkan, ia juga mengikuti langkah kakinya hingga ke Tanah Suci, menunaikan ibadah haji. Dalam kurun waktu itu, Rabiah pun mendapatkan guru bernama Hassan Basri.
Di sisi lain, Rabiah tetap membiarkan dirinya tak memiliki banyak harta. Kendi dari tanah liat, karpet usang, serta sebuah bata sebagai bantal merupakan harta berharga yang selalu ia jaga. Namun, itu semua tak menyurutkan semangatnya beribadah. Ia menghabiskan malam merenung dan mendekatkan diri kepada Allah.
Kabar kesalehan Rabiah kemudian menyebar. Lalu, banyak cendekiawan dan ulama menjalin komunikasi dan berdiskusi dengannya. Menurut dia, sebuah tobat yang diterima Allah adalah anugerah tak terhingga. Ia mengingatkan pula, seseorang yang melakukan dosa kelak mendapatkan balasan atas perbuatan dosanya itu.
Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya, Fatwa-Fatwa Kontemporer, menyatakan bahwa Ibnul Jauzi mengutip Abdullah bin Isa, menceritakan mengenai kesalehan Rabiah ini. Menurut Abdulla bin Isa, ia pernah masuk ke rumah Rabiah dan melihat wajah Rabiah bercahaya dan dia banyak sekali menangis.
Lalu, ada seorang lelaki yang membaca Alquran tentang neraka, Rabiah menjerit dan terjatuh. Ketika mengingat mati, air mata Rabiah akan meleleh dan gemetarlah tubuhnya,” ungkap Abdullah bin Isa. Abdah binti Abi Syawal, pelayan Rabiah, juga menyampaikan kesaksiannya.
Rabiah, jelas dia, bisa melakukan shalat malam sampai semalam suntuk. Bila fajar terbit, Rabiah tidur sejenak di tempat shalatnya, hingga fajar cerah. Saat Rabiah bangkit dari tidurnya, Abdah mendengar Rabiah berseru berapa lamakah dirinya tertidur dan sampai kapan ia bangun. Menurut Abdah, itu kebiasaan Rabiah hingga meninggal dunia.
Orang-orang saleh menunjuk perkataan Rabiah mengenai rasa takut dan cintanya kepada Allah. Aku memohon ampun kepada Allah karena sedikitnya kejujuranku dalam mengucapkan astaghfirullah.” Menurut Al-Qaradhaqi, ini memperlihatkan Rabiah termasuk orang yang takut sekaligus cinta kepada Allah.
Rabiah, yang lahir pada 98 Hijriah di Basra, mengembuskan napas terakhirnya di Yerusalem pada 184 Hijriah.