REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sanad dalam tradisi keilmuan Islam memiliki peran dan posisi penting. Bahkan, oleh as-Syahrastani, sebagaimana ditegaskan dalam kitab al-Milal wa an-Nihal, sanad disebut-sebut sebagai salah satu distingsi (pembeda) utama antara Islam dan agama lainnya.
Keberadaan sanad menjadi faktor kuat serta bukti dan validitas sebuah fakta ilmiah tertentu. Tidak hanya di bidang ilmu hadis, tetapi juga merambah hampir ke tiap disiplin ilmu. Abdullah Ibnu al-Mubarak pernah mengatakan, sanad adalah separuh dari kekuatan agama.
Tanpa sanad, niscaya siapa pun orangnya akan berpendapat apa pun yang dikehendaki tanpa mengindahkan dalil dan argumentasi agama yang kuat dan absah, ujar al-Mubarak. Dalam tradisi periwayatan hadis, validitas dan autentitas sanad merupakan syarat mutlak penerimaan sebuah riwayat tertentu.
Berbagai macam kitab hadis pun telah ditulis untuk menginventarisasi dan mengumpulkan ragam riwayat yang tercecer, baik di lembaran-lembaran catatan maupun hafalan para perawi yang tersebar di seluruh wilayah Arab kala itu. Mulai dari kitab al Jami’, Musnad, Sunan, al Mustakhraj, al Mustadrak, sampai kitab sederhana dan ringkas yang hanya memuat empat puluh hadis saja.
Untuk kategori kitab sederhana dan ringkas itu, para ulama kerap menyebutnya dengan al-Arbain (empat puluh). Salah satu contoh al-Arbain adalah kitab karangan seorang ulama Nusantara berdarah Padang, Sumatra Barat, yang telah menetap lama di Makkah, Arab Saudi, bernama Syekh Abu Al Faidl Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani al-Makki.