Sabtu 21 Jan 2017 21:47 WIB

Sepasang Bola Mata Anak di Pulau Terdepan

 Seorang anak sedang diperiksa matanya oleh petugas refraksi didampingi Kepala Divisi Kesehatan Rumah Sakit dan Sosial PMI Pusat dr. Arfan
Foto: Astra International
Seorang anak sedang diperiksa matanya oleh petugas refraksi didampingi Kepala Divisi Kesehatan Rumah Sakit dan Sosial PMI Pusat dr. Arfan

REPUBLIKA.CO.ID,  “Awalnya aku bercita-cita menjadi Polwan, tetapi karena mataku minus dua, terpaksa kualihkan cita-citaku menjadi guru yang tidak mempermasalahkan kondisi mata minus,” ungkap Maya Klaritagarpenassy, siswi kelas 5 SD di Merauke, Papua, seusai pemeriksaan mata di sekolahnya.

“Aku sempat menyesali kondisi mataku, namun aku bersyukur akan kedua mataku yang masih melihat dengan baik berkat bantuan kacamata dan aku akan merawat sebaik-baiknya,” ujarnya dengan penuh harap.

Kejadian ini memang agak tragis. Karena permasalahan mata, seorang anak harus mengganti cita-cita yang diimpikannya. Tetapi, syukurlah si anak sangat mengerti dengan kondisinya dan tetap bersemangat untuk menggapai cita-cita, meski pemeriksaan mata Maya tersebut baru dilakukan setelah ia berusia 11 tahun. Demikian pernyataan jujur Maya, siswi yang berada di pulau terdepan Indonesia.  

Ternyata masalah mata anak bukanlah persoalan biasa dan dapat dianggap sepele. Setidaknya hal itu terbukti dari perjalanan dalam program GenerAKSI Sehat Indonesia yang mencakup 9 kota, yakni Atambua, Nunukan, Sabang, Entikong, Merauke, Rote, Natuna, dan Talaud, di samping Jakarta.

Kepala Divisi Kesehatan Rumah Sakit dan Sosial PMI Pusat dr. Mochamad Arfan yang telah mengikuti hampir seluruh pembagian kacatama melalui GenerAKSI Sehat Indonesia mengatakan: “Di tiap-tiap kota, rata-rata sekitar 15% dari 300 anak-anak yang diperiksa mengalami kelainan refraksi yang cukup serius,” kata Arfan dalam keterangan persnya yang diterima Republika.co.id, Sabtu (21/1).

Ia mencontohkan bahwa data pemeriksaan mata anak di Merauke yang mengalami minus besar mencapai 25%, sedangkan di Jakarta dalam hal ini Jakarta Utara bahkan mencapai 30%.

Permasalahan mata anak muncul tidak hanya disebabkan oleh gangguan minus akibat tidak adanya sarana dan prasarana untuk memeriksa kesehatan mata mereka, namun persoalan lain juga terjadi akibat kurangnya asupan gizi, terutama sayur mayur, khususnya yang mengandung vitamin A.

Seperti halnya yang terjadi di Natuna. Bahkan di sana ditemukan fenomena anisometropia, yakni gangguan mata yang mengindikasi perbedaan jauh antara minus mata kiri dan kanan. Misalnya, jika mata kiri minus 1, mata kanannya minus 4-5. Kejadian ini sangat jarang terjadi di daerah lain di Indonesia.

Bahkan, dalam hal cerita lain, khususnya mengenai keterlibatan orang tua, ada kasus yang sangat tragis di mana seorang anak bernama Rukun, yang selalu dituntun sang Ibu untuk pergi dan pulang sekolah. Ternyata matanya minus 16 setelah dilakukan pemeriksaan mata yang selama ini tidak pernah dilakukan orang tuanya. Kenyataan ini baru diketahui setelah ia berusia 16. Jadi, di sini masalahnya adalah keterlambatan dalam hal memeriksa kesehatan mata kepada ahlinya. Sementara orang tuanya tidak mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut sejak Rukun kecil.

Dokter mata

Memang, banyak kasus mata anak-anak di berbagai daerah terdepan di Indonesia terjadi akibat situasi di daerah itu sendiri, termasuk ketiadaan dokter ahli mata di suatu daerah sehingga mereka tidak dapat memeriksakan kondisi mata sedini mungkin.

Merujuk data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia pada tahun 2013 menunjukkan bahwa 6,6 juta anak Indonesia usia sekolah mengalami gangguan pada mata. Angka tersebut relatif cukup besar bila dibandingkan jumlah anak usia sekolah yang mencapai 66 juta.

Berdasarkan masalah tersebut, PT Astra International Tbk menggagas gerakan GeneAKSI Sehat Indonesia (GSI). GSI merupakan salah satu bentuk nyata kepedulian Astra di bidang kesehatan untuk membantu anak-anak sekolah di daerah perbatasan terluar Indonesia memiliki penglihatan yang lebih baik. Bekerjasama dengan PMI, program ini telah dilaksanakan sejak Oktober 2014 hingga Januari 2017.

Beragam kisah mengharukan berasal dari daerah terluar lainnya. Cerita lain dialami anak-anak di Natuna, Kepualaun Riau. Salah satunya Nurmalinawati. Dua tahun silam matanya minus 6. Namun, pemeriksaan mata yang tidak rutin dan tidak dibantu dengan kacamata membuatnya sekarang bermata minus 13. Kejadian ini terekam sewaktu pemeriksaan mata pada 11 Januari 2017 lalu.

Program terakhir GSI 2016-2017 dilakukan pada 21 Januari 2017 di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Sebanyak 2.000 kacamata kembali diserahkan Astra bagi anak-anak di kawasan paling utara Indonesia Timur, tepatnya di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. 

Program GenerAKSI Sehat Indonesia mengajak masyarakat untuk melakukan social movement melalui berbagai AKSI SEHAT seperti olahraga, makan buah dan sayur, deteksi dini pemeriksaan kesehatan, dan aksi sehat lain yang dilakukan bersama teman dan keluarga. Setiap AKSI SEHAT yang mereka kampanyekan melalui media sosial akan dikonversikan oleh Astra menjadi kacamata yang didonasikan untuk anak-anak di wilayah perbatasan dan terluar Indonesia.

Pada tahun 2014-2015, sebanyak 9.048 kacamata telah didonasikan ke lima wilayah perbatasan dan terluar Indonesia, yaitu: Sabang -Aceh; Entikong - Kalimantan Barat; Nunukan - Kalimantan Utara; Atambua - Nusa Tenggara Timur, dan Merauke - Papua.

Program GSI 2016-2017 berhasil memperoleh total unggahan melalui media sosial sebanyak 6.606 dan telah dikonversi menjadi kacamata untuk anak-anak di Rote Ndao – Nusa Tenggara Timur, Natuna – Kepulauan Riau, dan Talaud – Sulawesi Utara. Setelah penyerahan kacamata di Talaud ini, secara keseluruhan jumlah kacamata yang diberikan Astra bagi anak-anak Indonesia hingga saat ini sebanyak 15.654 kacamata. 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement