REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar, wartawan Republika.co.id
Andi Hilmy Mutawakkil dan Achmad Fauzy Ashari menginginkan usahanya lebih bermakna. Maka, mereka melibatkan para mantan preman di Makassar untuk mengumpulkan jelantah dari restoran-restoran. Bersama para mantan preman, Hilmy dan Fauzy bersama empat kawannya (Ahmad Sahwawi, Fauzi Ihza, Rian Hadian Hakim, dan Jonathan Akbar) menjalankan kewirausahaan sosial dan bisnis hijau.
Kusnadir yang pertama kali ditawari Fauzy sempat tak tertarik dengan tawaran itu. Setelah mengikuti Fauzy mengambil jelantah dari restoran-restoran, Nadir menjadi tertarik. "Karena bermanfaat buat orang lain, biar jelantahnya gak dibeli pedagang gorengan untuk dipakai memasak lagi," ujar Nadir, panggilan akrab Kusnadir, kepada Republika.co.id, Selasa (3/1).
Pelibatan Nadir dan kawan-kawan, menurut Fauzy, berawal dari kondisi belum tersedianya armada pengangkut jelantah. "Sehingga terdorong mengajak mereka untuk kerja sama," ujar Fauzy kepada Republika.co.id. Jelantah merupakan minyak goreng bekas yang sudah tidak layak lagi digunakan.
Nadir pun meninggalkan pekerjaannya sebagai desainer grafis di perusahaan tekstil terkemuka di Makassar yang menurut dia lebih memeras otak, tapi nilai sosialnya kurang. Ia menekuni pekerjaan desain grafis setelah keluar dari penjara. Ia sempat masuk penjara pada 2012-2013 karena kasus narkoba, sehingga kuliahnya di Jurusan Teknik Informatika STMIK Dipanegara Makassar terhenti di semester kelima.
Pada 2014 bergabung dengan Hilmy-Fauzy, pada awalnya Nadir hanya bisa menyerahkan rata-rata 20 liter jelantah per hari. Lama-lama ia bisa mengumpulkan 4.000-5.000 liter dalam sebulan dari restoran-restoran ia ambil sepekan sekali. "Teman yang lain ada yang bisa mengumpulkan 10 ribu liter sebulan, karena juga mengumpulkan dari pedagang-pedagang gorengan," jelas Nadir.
Ia melibatkan teman-temannya yang mantan preman. Kini ada 20 mantan preman yang bergabung. Mereka membeli jelantah ke rumah makan seharga Rp 1.500 per liter. "Kemudian kami beli Rp 2.500 per liter," tambah Hilmy.
Sekarang, harga jelantah Rp 2.000 per liter, dibeli Hilmy-Fauzy Rp 3.000 per liter. Dari selisih harga Rp 1.000 per liter itu, berarti Nadir bisa mendapatkan Rp 4 juta–Rp 5 juta dalam sebulan. "Kerjanya gak terlalu ribet seperti ketika harus menjadi desainer grafis yang nguras otak,’’ ujar Nadir yang kini memanfaatkan waktu luangnya untuk membuat desain pesanan di internet.
Selepas dari penjara karena menjadi pemakai narkoba, Nadir bekerja menjadi desainer grafis. Ia dipenjara pada 2012-2013. Setelah membantu mengumpulkan jelantah sejak 2014, ia menekuni desain grafis sebagai tenaga lepas.
Ahmad Fauzy Ashari menerima tamu dari Kementerian ESDM di pabrik Gen Oil (Foto: Dokumen Gen Oil)
Hilmy dan Fauzy bersama empat teman lainnya itu mengolah jelantah menjadi biodiesel di bawah bendera CV Garuda Energi Nusantara (Gen) Oil. Pabriknya berkapasitas 4.000 liter per hari, tetapi kini baru memproduksi 2.000 liter per hari, meski pada awal-awal sempat bisa memproduksi 4.000 liter per hari. Pasokan jelantah menjadi masalah.
Mantan preman yang bergabung dibagi dalam 10 wilayah kerja. Mereka diberi modal kerja Rp 15 juta. ‘’Pernah ada yang masih membawa kepribadiannya sebagai preman, ketika membeli jelantah tak diberi, akhirnya gebrak meja, dan diberi jelantah gratis,’’ ujar Hilmy.
Nadir mengalami peristiwa itu di awal-awal ia mengumpulkan jelantah. Orang restorannya tak mau menjual kepada Nadir yang menawar dengan harga Rp 1.500 per liter. Sementara, tanpa seizin pemilik restoran, orang restoran bisa menjual dengan harga lebih tinggi ke orang-orang yanag membutuhkan untuk dipakai menggoreng makanan lagi.
‘’Saya jelasin ke mereka soal bahaya jelantah jika dipakai untuk memasak lagi, tapi ngejelasin-nya sambil marah-marah, jadi langsung dikasih deh, gratis,’’ ujar Nadir. Tapi di kesempatan berikutnya, kata Nadir, ia membayarnya.
Mendapat laporan ini, membuat Hilmy dan Fauzy rajin menularkan cara negosiasi. Hilmy dan Fauzy pun membuat kesepakatan bisnis dengan pemilik-pemilik restoran bahwa jelantah yang mereka beli tidak akan disalahgunakan untuk dijual ke pedagang gorengan, melainkan diproses menjadi biodiesel.
Langkah ini dilakukan agar jelantah tidak disalahgunakan oleh orang-orang yang akan mengambil keuntungan pribadi, tetapi membahayakan banyak orang di masa depan. ‘’Di salah satu rumah sakit di Makassar tercatat ada 14 ribu pasien per tahun yang menderita penyakit degeneratif, salah satu pemicunya adalah makanan tak sehat yang digoreng dengan jelantah,’’ tutur Hilmy.
Para pedagang gorengan membeli jelantah dengan harga murah, hanya Rp 5.000 per liter, di bawah harga minyak goreng baru, Rp 7.500 per liter. Para pedagang itu mendapatkannya dari oknum-oknum restoran.
Satu liter jelantah diolah menjadi satu liter biodiesel. ‘’Pada Februari 2015 sempat memproduksi 4.000 liter per hari, tapi pasokan jelantah seret, sempat berhenti hampir dua bulan pada Maret-April, dan akhir April beroperasi lagi,’’ ujar Hilmy yang sempat mengikuti Social Enterpreneur Camp Dompet Dhuafa pada 2015.