REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mengungkapkan terdapat sejumlah hal yang menyebabkan masih maraknya pengiriman TKI secara ilegal. Salah satunya, ada pihak-pihak tertentu yang menjadi provokator untuk pengiriman TKI secara ilegal.
Deputi Penempatan BNP2TKI, Agusdin Subiantoro mengatakan, provokator akan menjanjikan kerja di tempat tertentu dengan gaji yang tinggi, proses penempatan cepat dengan iming-iming gaji tinggi. Hal itu membuat masyarakat dengan pengetahuan rendah dan informasi terbatas mudah terprovokasi pemberangkatan secara ilegal.
"Ada calo dan provokator untuk melakukan perekrutan secara ilegal," kata dia kepada Republika.co.id, Senin (23/1).
Kedua, Agusdin melanjutkan, adanya keterbatasan kesempatan kerja di dalam negeri. Sehingga, bagi masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah, mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan. Sementara, di luar negeri banyak kesempatan kerja dengan gaji yang sma dengan seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan lebih. "Memang di dalam negeri mereka kesulitan dapat akses pekerjaan," kata dia.
Ketiga, iming-iming gaji besar membuat masyarakat lebih memilih bekerja di luar negeri. Ia mencontohkan, menjadi pembantu rumah tangga di Malaysia bisa mendapat gaji sekitar Rp 3 juta hingga Rp 4 juta, di Hongkong sekitar Rp 6 juta, di Singapura sekitar Rp 4,5 juta hingga Rp 5 juta, di Taiwan sekitar Rp 6,8 juta hingga Rp 7 juta. "Ini menjadi daya tarik lebih untuk mereka yang tak punya akses di dalam negeri," kata dia.
Keempat, janji untuk berangkat cepat. Padahal, Agusdin mengatakan, butuh proses dan prosedur untuk pengiriman TKI ke luar negeri. Setidaknya, mereka harus menjalani 600 jam pelajaran dan pelatihan atau sekitar 60-70 hari. Calon TKI juga harus menjalani uji kompetensi untuk dinyatakan layak atau tidak bekerja di luar negeri. Ia menyebut, setidaknya butuh tiga hingga empat bulan untuk pengurusan dokumen dan lain-lain.
"Ini teman yang ilegal tanpa melalui prosedur pelatihan. Berangkat tanpa ada bekal bahasa, keterampilan dan dokumen lengkap. Sehingga, resiko siap menghadang mereka begitu sampai di sana," tutur dia.
Menurut Agusdin para calon TKI ilegal tahu bahwa mereka akan bekerja di luar negeri secara ilegal tanpa melalui prosedur yang ditentukan. "Mestinya tahu. Karena pendaftaran dan pemberangkatan waktunya panjang. Kalau berangkat dalam waktu singkat, pasti tak sesuai prosedur," jelasnya.
Agusdin mengatakan, BNP2TKI tak bisa menjangkau atau mengawasi sampai ke tingkat desa-desa. Sehingga, ia menyebut pemerintah daerah melalui Dinas Ketenagakerjaan setiap daerah peka terhadap potensi itu dengan melihat kesempatan kerja di daerahnya. "Penanganannya tak dilakukan secara parsial harus terintegrasi. Kementerian/lembaga terkait yang paling bertanggung jawab," jelasnya.
Sehingga, ia mengusulkan, paling tidak setiap calon TKI harus mengantongi izin dari keluarga, kepala desa dan instansi terkait lainnya. "Orang antara mau berangkat baik dia bekerja atau berkunjung, kan beda. Mestinya ada institusi yang punya tugas pantau ini dan terintegrasi," ujar dia.