REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti mengatakan dari hasil investasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, masih banyak ABK yang berasal dari Indonesia mendapatkan perlakuan yang melanggar HAM. Ia mengatakan, banyak di antara ABK tersebut bekerja di kapal kapal di luar negeri tanpa memegang paspor dan identitas.
Susi menceritakan pada saat kunjungannya bersama Wapres, Jusuf Kalla ke Hawai didapati beberapa ABK berada di kapal. Para ABK tersebut kemudian bercerita bahwa banyak di antara mereka tak bisa keluar dari kapal karena dokumen mereka ditahan dan tidak membawa dokumen saat sedang berlayar.
"Itu kan namanya perdagangan manusia terjadi di situ, nggak mungkin kalau nggak human traficking. Dengan mereka nggak bisa ke darat, seumur-umur berbulan-bulan bertahun-tahun, kalau dokumen saja nggak punya apa mereka punya proteksi? Kan nggak? Kalau ada kecelakaan sakit, tenggelam, bagaimana?," ujar Susi di kantornya, Jakarta, Selasa (24/1).
Susi mengatakan isu ini harus menjadi perhatian bersama. Ia mengatakan dari data yang ada, sekitar 1.152 orang yang semula menjadi ABK mendapat perlakuan diskriminatif di Myanmar. Namun, para ABK ini sudah kembali ke tanah air. Mayoritas para ABK ini berasal dari Benjina dan Ambon.
"Inilah potret-potret dari hasil investigasi yang terjadi di dunia ABK untuk di highlight. Indonesia adalah pemasok terbesar untuk ABK kapal ikan, kargo, dan lain-lain. KKP sendiri hanya bisa melakukan ini, bisa enforce hanya di lingkungan laut Indonesia, selebihnya nggak bisa karena di luar tupoksi kita" ujar Susi.
Ke depan, ia mengatakan pihaknya akan menertibkan persoalan ini dari sisi tupoksinya. Ia mengatakan semua izin kapal sipil di atas 30 GT harus patuh dengan hukum HAM. Ia mengatakan para pengusaha kapal wajib mengasuransikan ABK dan tidak bisa berlaku semena-mena dengan para ABK.
"Mereka harus bisa tunjukkan bahwa ABKnya mendapatkan asuransi. Kalau itu nggak ada, kita nggak akan kasih izin tangkap. Ke depan, kita akan lebih teliti lagi," ujar Susi.