REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Setelah puluhan tahun diduduki Israel, pada 21 Desember 1995, Bethlehem kembali kepada pemiliknya yang sah, yakni rakyat Palestina. Pengembalian ini dilakukan berdasarkan Kesepakatan Oslo yang diteken pada 1993.
Menengok agak ke belakang lagi, nasib Bethlehem sedikit banyak ditentukan pula oleh Deklarasi Balfour pada 1917. Banyak kalangan menilai, deklarasi ini merupakan salah satu pendorong pecahnya konflik antara bangsa Arab dan bangsa Yahudi saat ini.
Deklarasi Balfour ialah surat James Arthur Balfour, menteri Luar Negeri Inggris pada waktu itu, kepada Baron Rothchild, seorang Yahudi Amerika. Surat itu berisi jaminan dan dukungan Pemerintah Inggris atas dibentuknya suatu negara Yahudi yang akan berkedudukan di Palestina, dengan catatan hak penduduk asli di daerah itu dihormati.
Setelah keluarnya Deklarasi Balfour, hingga 1948, Bethlehem dan Palestina berada di bawah protektorat Inggris. Selama masa itu, Bethlehem menjadi salah satu pusat perjuangan rakyat Palestina melawan pemerintah kolonial Inggris.
Seusai perang Arab-Israel pada 1948, pasukan Mesir memasuki Bethlehem dan keluar pada 1949. Bethlehem kemudian dikuasai Yordania hingga Perang Arab-Israel, Juni 1967. Sejak 1967, Bethlehem berada di bawah cengkeraman Israel.
Waktu terus bergulir. Berkat Kesepakatan Oslo, Bethlehem kembali ke pemiliknya yang sah, Palestina. Ia menjadi ibu kota distrik Bethlehem. Dalam komposisi penduduk, populasi Nasrani bukan lagi mayoritas di sana. Namun, ada peraturan khusus yang berlaku di Bethlehem, yakni wali kota dan mayoritas dewan kota harus orang Nasrani.
(Baca: Menilik Kota Kelahiran Nabi Isa)