REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rupanya kicauan wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Fahri Hamzah, di Twitter berbuntut panjang. Itu setelah Migrant Care mengadukan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ke Dewan Kehormatan Dewan (MKD).
Poin laporan Migrant Care tersebut adalah kicauan Fahri di Twitter yang diunggah pada Selasa (24/1). Cicitan tersebut dianggap Migrant Care menghina martabat perempuan dan pekerja rumah tangga (PRT).
"Hari ini Migrant Care melaporkan saudara Fahri Hamzah atas cuitan di lini masa Twitter. Maka bagi kami menyakiti buruh migran yang selama ini mereka bekerja secara bermartabat. Disebut pembantu saja tidak boleh, apalagi babu," jelas Direktur Migrant Care, Anis Hidayah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (27/1).
Menurutnya, ada sejumlah prinsip yang dilanggar Fahri Hamzah secara etis di Twitternya itu. Pertama, kata 'babu' tidak relevan dengan konsepsi perburuhan karena lekat dengan konsepsi perbudakan dan sudah lama dihapus dalam kamus perburuhan. Apalagi PRT dan itu diakui resmi oleh organisasi perburuhan internasional
Kemudian prinsip kedua adalah kata mengemis. Migrant Care menilai kata itu juga tidak pantas untuk disampaikan karena buruh migran yang ke luar negeri bekerja bukan mengemis atau meminta-minta. Maka dengan demikian pihaknya sangat menyesalkan kicauan Fahri Hamzah di media sosial tersebut. Mengingat dia merupakan perwakilan dari daerah pemilihan (dapil) Nusa Tenggara Barat (NTB) yang mayoritas warganya menjadi buruh migran.
"Tentu sangat tak pantas menyebutnya pengemis. Mereka (PRT) bekerja dengan keringat, darah bahkan yang juga kehilangan nyawa. Betapa sulitnya kehidupan mereka," tambahnya.
Sebelumnya, Fahri sempat menyinggung soal banyaknya warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri sementara pekerja asing merajalela di Tanah Air. "Anak bangsa mengemis menjadi babu di negeri orang dan pekerja asing merajalela," tulis Fahri dalam akun Twitter pribadinya @Fahrihamzah.