REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki menilai tertangkapnya
Hakim Konsitusi Patrialis Akbar harus menjadi momentum perubahan rekrutmen hakim konstitusi ke depannya. Hal ini karena ia menganggap proses rekrutmen hakim konstitusi selama ini belum transparan.
"Ini harus ada perubahan total pola rekrutmen, rekrutmen harus transparan dan sungguh-sungguh," ujar Suparman dalam diskusi bertajuk "Korupsi di Mahkamah Konstitusi?" di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (28/1).
Ia mengatakan pola rekrutmen hakim konstitusi selama ini diusulkan tiga lembaga yakni oleh Pemerintah, DPR dan Mahkamah Agung. Namun pada prakteknya, tidak ada acuan baku bagi ketiga lembaga tersebut untuk menentukan mekanisme hakim konstitusi tersebut. Menurutnya, pengusulan lebih berdasarkan selera di tiap-tiap lembaga tersebut.
"Kemarin mekanisme itu ditentukan oleh masing-masing lembaga, jadi menurut saya, ini harusnya ditentukan UU, di tiga itu harus sama, kalau nggak, berdasarkan selera-selera aja," kata Suparman.
Ia mencontohkan rekrutmen kepada Patrialis Akbar yang merupakan hasil dari usulan Pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada waktu itu. Ia pun mempertanyakan proses mekanisme saat itu terkait integritas dan kompetensi hakim konsitusi, sehingga kemudian terjadi peristiwa yang terjadi saat ini.
"Integritas dan kompetensi itu wajib, kumulatif, tidak bisa ditawar," katanya.
Diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan Patrialis Akbar sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait pengujian atau judicial review atas Undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Tertangkapnya Patrialis Akbar oleh KPK menambah daftar hakim konsitusi yang terjerat kasus korupsi. Setelah pada 2013 lalu, KPK menangkap tangan Akil Mochtar yang saat itu menjabat Ketua MK.
Akil diciduk KPK lantaran kedapatan menerima suap terkait kepengurusan sengketa Pilkada yang ditangani MK. Ia juga telah divonis bersalah oleh pengadilan dan dijatuhi hukuman seumur hidup.