REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Besar Masjid New York yang juga Presiden Nusantara Foundation Imam Shamsi AliI mengaku, memang tidak mengingkari adanya kasus yang mengganggu kerukunan dimana-mana, baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat. Tapi, satu hal yang ingin disampaikan, jangan kasus-kasus tersebut dianggap sebagai wakil dari negara dan bangsa secara keseluruhan.
Menurut dia, sekuat apapun kecenderungan intoleransi pada kelompok tertentu dari sebuah bangsa, hendaknya dilihat sebagai kasus dan bukan representasi bangsa itu sendiri. "Tendensi generalisasi ini yang terkadang menjadikan penilaian tidak adil,"katanya kemarin.
Bahkan, menurutnya, cenderung menzalimi pihak yang dianggap berseberangan. Betapa sering mendengar isu Muslim Indonesia tidak lagi toleran. Karena ada sekolompok kecil dari kalangan umat yang menyuarakan penolakan terhadap pembangunan gereja di sebuah tempat tertentu.
Sebaliknya, juga sering mendengar jika Amerika adalah bangsa yang anti Islam, juga musuh Islam yang tidak memberikan hak-hak beragama bagi komunitas Muslim. "Biasanya tuduhan ini juga karena kasus-kasus yang terjadi di beberapa tempat, khususnya setelah Donald Trump terpilih menjadi presiden," jelasnya.
Ia mengungkapkan, memang wajar khawatir dan perhatian mendengar kasus-kasus dan isu-isu tersebut. Sebab, komitmen bersama sejak awal menjaga kerukunan, kedamaian dan kebersamaan antar manusia. Juga karena semua ingin tetap melihat kedua bangsa dan dunia secara keseluruhan bisa rukun. "Dan damai di tengah keragaman dan perbedaan yang ada," katanya.
Akan tetapi, ditegaskan Imam Shamsi, satu hal yang perlu diingat bahwa setebal apapun mendung di langit, percayalah jika cahaya mentari di ufuk sana tetap eksis. Sebuah peristiwa, seburuk apapun itu tidak seharusnya menghapus optimisme dan harapan. Di penghujung terowongan panjang itu ada sinar yang terang benderang.
Ia menerangkan, kerukunan sesungguhnya adalah darah daging kedua bangsa, yakni Indonesia dan Amerika. Amerika dengan konstitusi yang solid, tegas menjamin hak-hak beragama setiap orang dan tidak akan goyah dengan sikap dan perilaku sebagian masyarakatnya.
Selain itu yang terpenting, di tengah tumbuhnya Islamphobia dan kemarahan sebagian kecil warga. Ternyata masih dominan mereka yang justru memberikan simpati dan membangun solideritas kepada masyarakat Muslim.
Demikian pula dengan bangsa Indonesia. Ia mengungkapkan, hal yang membanggakan adalah kerukunan antar masyarakat di Indonesia sudah menjadi darah daging dan perjalanan sejarah. "Jika ada kasus sebaliknya, maka itu bukan tabiat bangsa ini. Bahkan sekaligus itu adalah pencabulan kepada sejarah indah bangsa ini," tegasnya.
Oleh karenanya, terpilihnya Trump di Amerika dan dengan tanda-tanda kebijakan pemerintahannya yang merugikan komunitas Muslim dan minoritas. Secara umum harusnya tidak menghilangkan keyakinan terhadap Amerika sebagai negara dan bangsa yang toleran.
Ia mengatakan, selama konstitusi Amerika sama, yang akan terjadi hanya geliat dan hiruk pikuk politik. Tapi, secara fundamental Amerika akan tetap Amerika yang kita kenal sangat toleran.
Demikian pula dengan Indonesia. Kasus-kasus gesekan komunal (ketegangan antar kelompok) di beberapa daerah, itu hanya geliat dan hiruk pikuk kepentingan sesaat. Menurutnya, tendensi intoleran itu sama sekali tidak dapat dikatakan sebagai wajah bangsa yang sesungguhnya. Melainkan sebuah deviasi dari wajahnya yang sejati.
"Saya mengajak kita semua untuk membangun optimisme dan memperkuat harapan ini," ujarnya.
Menurutnya, dengan penglihatan optimis dan dengan dada yang penuh harapan, maka bisa membangun pikiran dan sikap positif. Jika tidak, akan terjadi negativity yang dalam, juga mengantar kepada sikap dan perilaku yang destruktif. "Intinya adalah di tengah badai rintangan itu tersembunyi harapan, dan harapan itu selalu ada," ungkapnya.