Ahad 29 Jan 2017 04:56 WIB

MK Pernah Keluarkan Putusan Ultra Petita Menolak untuk Diawasi

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Angga Indrawan
Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar memberikan keterangan kepada media usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/1).
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar memberikan keterangan kepada media usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana pengawasan etik hakim konstitusi kembali dimunculkan menyusul tertangkap tangannya Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Kedua kalinya hakim konstitusi terlibat kasus korupsi dinilai lantaran tidak terawasinya etik hakim konstitusi.

Mantan Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki menuturkan upaya pengawasan etik Komisi Yudisial terhadap hakim konstitusi pernah dilakukan sama halnya dengan hakim lainnya. Ini dilakukan melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Namun pasal di UU tersebut, kemudian diujimaterikan oleh Mahkamah Agung, khususnya terkait pengawasan hakim MA. Dalam putusannya, MK tak hanya mengabulkan permohonan JR pasal yang dimohonkan MA, namun juga membatalkan kewenangan KY mengawasi etik hakim konstitusi.

"Tentang KY sudah dicantumkan, mau masuk objek pengawasan tapi UU di JR oleh MA, dan putusan MK soal pengawasan MA, iya, juga termasuk pengawasan terhadap MK mereka anulir, ini ultra petita, memutus yang tidak dimohonkan," kata Suparman di Jakarta, Sabtu (28/1).

Karena itu pula, mau tidak mau pengawasan KY terhadap etik hakim konstitusi pun dibatalkan. "Putusan MK itu suka tidak suka sederajat dengan konstitusi, nah putusan MK sendiri yang nggak mau diawasi," katanya.

Sebab itu, ia menyayangkan posisi hakim konstitusi yang begitu tinggi namun diisi orang-orang yang justru tidak memiliki integritas. Padahal semestinya, kata dia, orang dengan keistimewaan yang harusnya mengisi jabatan hakim konstitusi.

"Hakim itu tidak boleh dijamah, tidak dipergunjingkan semestinya. Pentingnya hakim MK itu harus berintegritas, tidak tercela, dan negarawan. Tidak boleh main-main orang-orang ini," katanya.

Jika tidak adanya pengawasan terhadap hakim konstitusi, kata dia, maka pembenahan pola rekrutmen yang harus dilakukan. Setidaknya untuk menghasilkan hakim konstitusi yang benar-benar berintegritas dan memiliki kapabilitas tinggi sesuai jabatan yang diembannya. 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement