REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus dugaan suap yang menjerat hakim konstitusi Patrialis Akbar, mengingatkan publik terhadap kasus yang menjerat Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang telah divonis seumur hidup. Keduanya hakim konstitusi yang terlibat korupsi dan diketahui sama-sama berlatarbelakang seorang politikus.
Latarbelakang politisi itu pula yang kemudian mencuat dan dianggap sebagai faktor penyebab korupsi yang dilakukan keduanya. Anggota Komisi lll DPR RI, Syaiful Bahri Ruray tidak sependapat jika hakim konstitusi diisi oleh dengan para politisi. Menurutnya, para hakim konstitusi semestinya diisi oleh orang yang benar-benar mengerti hukum, intelektual dan negarawan.
"Saya kurang setuju, kalau politisi ya politisi saja, kalau negarawan kan bicara soal masa depan, tapi kalau politisi bicara soal kursi. Nah hakim tidak bisa terjebak dalam mekanisme lima tahunan," kata Syaiful di Menteng, Jakarta, Sabtu (28/1).
Menurutnya, kalaupun kandidatnya berasal dari politisi, tentunya memiliki background hukum yang kuat, sering menulis, intelektual, dan rajin membaca jurnal. Kalau tidak, kata dia, maka tidak layak ia menjadi hakim konstitusi.
"Bukan berarti kita melarang politisi, bahwa seluruh anak bangsa, putra terbaik bangsa berhak jadi hakim, tapi hakim haruslah negarawan," katanya.
Anggota DPR dari Fraksi Golkar mengatakan, para hakim konstitusi tidak boleh diisi-isi orang sembarangan, mengingat kedudukan hakim konstitusi yang tinggi. Jika hakim konstitusi tidak berintegritas, maka hasil dari putusan pun tidak berkualitas.
"Kalau hakim nggak sesuai kompetensi, ya memengaruhi kualitas keputusan dia, padahal kualitas putusan hakim konstitusi setara dengan konstitusi, kita merendahkan konstitusi kita kalau tidak berkualitas hakimnya, sebagaimana penyusun konstitusi awal," kata dia.