Ahad 29 Jan 2017 19:36 WIB

Belajar Islam dari Sosok Ayahnya, Vita pun Bersyahadat

Rep: Muhammad Fauzi Ridwan/ Red: Agus Yulianto
Masjid Lautze Jakarta
Foto: AGUNG SASONGKO/REPUBLIKA.CO.ID
Masjid Lautze Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID,  Vita (28 tahun), perempuan asal DKI Jakarta mengambil keputusan besar yang bakal mengubah seluruh hidupnya ke depan. Ia memutuskan memeluk agama Islam sekitar 2006 silam. Langkah itu, dia tempuh setelah sebelumnya mempelajari Islam kepada sosok yang sangat dihormati, yaitu ayahnya. Lelaki yang juga merupakan seorang mualaf sejak tahun 1990-an. Meski hingga saat ini, sang ibu dan adiknya bukan beragama Islam.

Sekitar 2003, ia mengaku berada dalam kondisi terendah menyangkut keyakinan. Bahkan, ritual-ritual keagamaan yang dianutnya kala itu, tidak pernah dilaksanakan. Ketika itu pula, dirinya sudah mengetahui tentang ritual-ritual agama Islam, tapi masih sebatas untuk bersenang-senang.

Hingga suatu waktu, sang ayah mengingatkannya agar beragama secara benar. Sejak itu, ia merasa terganggu dan gelisah dengan perkataan ayahnya.

“D isitu titik balik saya mencari tahu tentang Islam. Tahun 2003, saya mencari, belajar, memahami (Islam) dan syahadat pada tahun 2006 saat lulus SMA di Masjid Lautze, Jakarta,” ujarnya kepada Republika saat ditemui di acara Mualaf Center Baznas di Pesantren Daarut Tauhid, Ahad (29/1).

Ia menuturkan, perjalanan sebelum mengucapkan syahadat secara resmi, dirinya sudah melaksanakan shalat dan kepada ayahnya mengucapkan syahadat. Bimbingan ayahnya yang begitu detail tentang agama Islam membuat dirinya begitu spesial. Dari mulai belajar tata cara berwudhu, shalat, dan lainnya.

Selama proses mengenal Islam dan mempelajarinya hingga akhirnya memutuskan berpindah keyakinan, perempuan yang sehari-hari bekerja di wedding organizer (WO) ini mengaku, mendapatkan tantangan yang berat. Selain itu, rintangan datang dari keluarga meski tidak dimusuhi atau diusir. Sang ibu pun mempertanyakan pilihannya.

Meski begitu, Vita mengaku, heran dengan sikap ibunya sebab tidak ada yang salah dengan Islam. Bahkan, dia berpikir, banyak yang tidak suka dengan Islam ketika memutuskan menjadi seorang mualaf. Apalagi, baginya sebagai seorang mualaf keturunan tantangan selalu ada baik dari keluarga maupun lingkungan kerja atau pertemanan.

Vita mengatakan, ujian yang paling berat dirasakan selama menjadi mualaf adalah ketika sosok yang menjadi panutan dalam belajar Islam, ayahnya, meninggal dunia. Baginya, momen saat itu menjadi ujuan yang sangat berat.

“Beberapa tahun terakhir sangat berat. Saat saya memutuskan menjadi mualaf, saya memang harus punya agama. Apalagi, bapak bilang agama yang diridhai itu Islam. Bapak memberi wejangan kalau kamu masuk Islam jadi mualaf jangan pernah keluar dari Islam. Hanya bapak yang mendukung saya,” ujarnya. 

Saat tengah berada dalam kondisi yang berat, ia mengaku, mendapat dukungan dari teman-teman di Masjid Lautze termasuk di Mualaf Center Baznas dan guru mengaji. Hal itu membuat semangat yang kadang naik turun bisa kembali normal.

Ia pun mengaku dengan keputusannya menjadi mualaf pun banyak nikmat dari Allah SWT yang diperolehnya semisal dari pekerjaan. “Selama 14 tahun jalan (proses) naik turun. Kalau gak kuat-kuat ingin melambaikan tangan (menyerah). Namun, selalu dikembalikan dengan dulu saat berproses sejak awal,” katanya.

Baginya dengan memeluk agama Islam, ia mengaku senang karena kini memiliki agama. Kemudian lebih dari itu, ia merasa lebih tenang dan damai. Meski masih ada yang kadang suka mencibir dengan keputusannya. 

Satu hal yang saat ini selalu menjadi keresahan bagi dirinya adalah menyangkut pasangan hidup. Di usia yang kini matang, ia ingin memiliki pasangan hidup seiman. Namun, saat ini belum ada. Satu sisi, ia bergembira, karena neneknya sebelum meninggal sudah memeluk agama Islam termasuk abang dan pamannya.

Kepala Mualaf Center Baznas, Hadi Handoko mengungkapkan, masih banyak terdapat mualaf yang mendapatkan diskriminasi dan kekerasan fisik dari lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, pihaknya terus mengupayakan perlindungan dan pendampingan kepada para mualaf.

Selain itu, diperlukan koordinasi dan konsolidasi yang kuat antara lembaga yang berisikan para mualaf. “Menjadi mualaf itu ada yang dikucilkan, bahkan diusir. Selain itu, akses terhadap ekonomi, lingkungan sosial tidak diterima. Oleh karena itu diperlukan advokasi dan pendampingan,” ujarnya.

Dia  berharap, agar ekonomi bisa memainkan peran bagi para mualaf. Sebab, mereka banyak dipersulit atau bahkan diberhentikan kerja karena status agamanya.

Dikatakan Hadi, saat ini, banyak orang yang memutuskan menjadi mualaf atau masuk Islam karena faktor pernikahan. Karena itu, tantangan ke depan bagi Mualaf Center Baznas adalah menyatukan lembaga mualaf untuk bekerja sama dan bersinergi.

Farid Septian, senior officer Advokasi dan Dakwah Baznas mengungkapkan, selama ini anggaran untuk program-program yang menyangkut mualaf masih sedikit. Padahal, keberadaan para mualaf sangat penting oleh karena itu harus lebih diperhatikan.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement