REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peralihan basis negara (country based) menjadi basis zona (zone based) untuk impor daging ramai menjadi perdebatan. Sebab, impor daging berdasarkan based zone dikhawatirkan lolosnya daging impor pembawa virus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengatakan, keputusan untuk tetap mempertahankan zone based adalah dengan tujuan menekan harga daging dalam negeri. Seperti didatangkannya daging kerbau impor asal India untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan menekan harga daging sapi.
Sayangnya, India belum dinyatakan bebas PMK. Itu artinya daging impor asal India membahayakan peternak lokal. "Tahu nggak, foot and mouth diseases itu bisa bertahan berapa derajat? Bisa bertahan 23 derajat (celcius), sedangkan kita impor dalam bentuk frozen (beku, red)," ujar Amaran kepada wartawan, Senin (30/1).
Dalam kesempatan tersebut ia menekankan jika pihaknya tetap menjaga dan melindungi peternak dalam negeri. Salah satu caranya adalah dengan mengirim para ahli dan pakar ke India untuk memastikan kesehatan ternak yang akan diimpor. "Tidak semudah kita tanda tangan langsung impor," ujarnya.
Bukan hanya untuk daging kerbau India, pengecekan pada impor juga dilakukan untuk semua komoditas.
Amran melanjutkan, saat ini pemerintah tidak lagi mengacu pada swasembada daging, melainkan swasembada protein. Itu artinya ada dorongan produksi untuk sumber protein lain seperti ayam, telur dan, kambing, domba dan lainnya yang sejauh ini telah surplus.
Sayangnya tidak begitu untuk sapi, kata dia, sehingga ada program Sapi Indukan Wajib Bunting (SIWAB) yang dinilai cukup efektif. "Karena kelahiran sapi meningkat 1,4 juta ton kelahiran dan itu yang lahir adalah sapi brahman, ongol, dan limosin," tambah dia.
Kemudian ada juga kebijakan untuk mengimpor sapi bakalan, yakni indukan berbanding bakalan (1:5) yang telah tertuang dalam Peraturan pemerintah. "Ini adalah solusinya, jangka panjang," katanya.