REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Sejumlah kelompok masyarakat dan individu telah menolak larangan imigrasi sementara yang dikeluarkan Presiden AS Donald Trump terhadap tujuh negara dengan mayoritas Muslim. Salah satu di antara mereka yang menolak adalah penerima penghargaan Australia of the Year New South Wales 2017, Deng Adut.
Pengacara kriminal dan pengungsi yang berbasis di barat Sydney ini adalah mantan tentara anak di Sudan dan datang ke Australia sebagai pengungsi pada 1998. Deng Adut berkewarganegaraan ganda Sudan Selatan dan Australia. Meski ia tak terpengaruh oleh larangan, yang diarahkan ke Republik Sudan dengan mayoritas Islam itu tetapi ia tetap mengutuknya.
"Budaya menghukum negara-negara yang tidak bersalah dan lemah harus dihentikan. Itu tak menghentikan perang, justru malah menciptakannya. Ini menciptakan kesulitan ekonomi bagi masyarakat lokal; korbannya adalah orang miskin, orang-orang yang tidak memiliki keterampilan, para pengungsi,” katanya.
Ia mengatakan, "Jika Trump berhasil dengan larangan ini dan lolos di pengadilan, negara-negara yang ada dalam daftar harus mengeluarkan warga Amerika. Amerika harus dipaksa untuk meninggalkan Irak dan Suriah dan negara-negara lain di mana personel militer dan warga sipil mereka tinggal. Terlalu banyak kemunafikan.”
"Ada banyak ancaman dari dalam Amerika yang harus menjadi fokus Trump, bukan persepsi ancaman dari orang asing," sambungnya.
Kebingungan muncul seiring terpecah-belahnya keluarga
Seorang perempuan asal Sydney Barat mengatakan, keluarganya asal Iran terpecah-belah oleh larangan imigrasi yang diberlakukan oleh Presiden Trump. Farzaneh Ahmadi adalah warga negara Iran yang telah bekerja dan tinggal di Homebush, New South Wales, selama beberapa tahun.
Ibu dan ayahnya terbang ke Australia dari Iran pada Oktober, dan sedianya terbang ke Amerika Serikat Sabtu (28/1) lalu dengan saudara perempuan Farzaneh, Fahimeh, yang memiliki paspor ganda Australia-Iran. Mereka tadinya berencana mengunjungi anak laki-laki mereka, Mousa. Mousa sedang belajar di Amerika Serikat dengan visa mahasiswa sekali masuk yang berarti ia tak bisa meninggalkan negara itu dan kembali lagi.
Tapi perjalanan mereka pada Sabtu itu dihentikan setelah Mousa berbicara kepada staf imigrasi di bandara JFK, New York.
"Mereka mengatakan jika seseorang datang dengan paspor Iran, ‘kami tak akan membiarkan mereka masuk’," tutur Farzaneh.
"Saya lihat ayah saya menangis, ibu saja juga menangis," ungkapnya.
Khawatir tentang keselamatan saudara laki-laki mereka, mereka berjudi dan mengirim Fahimeh ke AS. "Jika Presiden Trump ingin memecah-belah keluarga kami, kami tak akan pulang tanpa perlawanan," sebut Farzaneh.
"Jadi saya menelepon maskapai dan mengatakan kami harus berjuang untuk saudara perempuan saya. Ia berkewarganegaraan ganda (Australia dan Iran) mungkin bisa masuk AS," tuturnya.
Fahimeh tiba di Amerika Senin (30/1) pagi tapi Farzaneh mengaku, pengalaman itu telah melukai keluarganya. "Larangan itu sangat tak jelas dan tak ada batasan yang jelas, orang dengan green card (izin tinggal permanen), saudara saya punya visa masuk beberapa kali ke Amerika Serikat selama lima tahun, bahkan itu tak jadi kepastian bagi kami," katanya.
Profesional terkejut akan kebijakan Trump
Ahmed Alrubaie adalah dokter ahli pencernaan yang berbasis di Sydney dan telah berada di Australia selama lebih dari 22 tahun. Ia juga berkewarganegaraan ganda, memegang paspor Australia dan Irak.
Ahmed Alrubaie juga merupakan bagian dari Forum Lulusan Universitas Australia Asal Irak. Ia mengatakan, kelompoknya terkejut akan larangan tersebut. "Kami tak bisa memahami keputusan ini datang dari negara adidaya, dengan semua cita-cita kebebasan dan demokrasi," sebutnya.
"Bagaimana dengan mereka yang menunggu hadirnya tempat aman? Ini bertentangan dengan semua prinsip-prinsip konstitusi Amerika dan hukum internasional mereka," tutur Dr Ahmed Alrubaie.
Ia mengatakan, larangan ini juga akan berdampak pada banyak warga negara ganda seperti dirinya yang melakukan perjalanan antar negara untuk pekerjaan mereka. "Untuk profesional seperti saya sendiri, misalnya, yang menghadiri konferensi medis secara teratur di Eropa dan Amerika, ini akan menjadi blokade. Saya tak bisa memahaminya. Ada orang-orang di Australia yang berdagang di antara dua negara atau memiliki keluarga di AS," jelasnya.
Ahmed Alrubaie mengatakan, masyarakat dunia harus berbicara. "Pemerintah Australia harus melakukan sesuatu. Ada cara lain untuk menangani terorisme -ini justru semakin memicunya. Kami memerlukan sikap yang kuat dari Australia, menggunakan hubungan baiknya dengan AS." harapnya.
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.
Diterbitkan: 16:02 WIB 30/01/2017 oleh Nurina Savitri.