REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana untuk melakukan standardisasi khatib Shalat Jumat menguat dalam beberapa pekan terakhir. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan, bahwa pemerintah hanya akan menjadi fasilitator terkait diskursus ini.
Menurutnya, kalau pemerintah yang melakukan standardisasi, maka itu akan dianggap intervensi dan campur tangan negara. "Pilihannya apakah MUI, atau gabungan dari ormas Islam. Masing-masing ormas juga bisa membuat standard itu," kata Lukman, di Jakarta, Senin (30/01).
Lukman mengaku, bahwa pihaknya saat ini masih menjaring aspirasi dan masukan dari masyarakat. Akhir pekan lalu, Kemenag telah mengundang para tokoh dari MUI, NU, Muhammadiyah, ormas Islam dan beberapa fakulats dakwah untuk duduk bersama menyerap aspirasi.
Dikatakan Lukman, ada dua hal yang harus dirumuskan bersama. Pertama, standardisasi yang mengatur kompetensi atau kualifikasi khatib jumat. Menurutnya, hal ini perlu dirumuskan karena esensi khutbah jumat adalah memberikan wasiat, tausiah, dan nasihat. Seorang khatib harus dapat memberikan nasihat. Memberikan informasi yang tidak berdasar atau tidak benar dan saling mencela sama sekali tidak dibolehkan.
Hal kedua terkait dengan siapa yang berwenang melakukan standardisasi. Lukman mengatakan, proses standardisasi harus dilakukan dan dijaga semata karena pertimbangan syar'i atau keagamaan; terbebas dari pertimbangan politik dan lainnya. Dalam konteks inilah Menag menilai tugas itu bisa diambil oleh MUI atau gabungan ormas Islam. Bahkan, kata dia, masing-masing ormas juga bisa membuat standardnya.
"Biarlah nanti masyarakat yang menilai. Kalau ada seseorang yang khutbahnya buruk, mencela, mencaci maki, menghujat dan lainnya, lalu mengaku memiliki bukti semacam standardisasi yang dikeluarkan oleh ormas tertentu, toh nanti ormas itu sendiri yang akan kena getah dari apa yang dia keluarkan," ujarnya.
Menag berharap, pembahasan terkait standardisasi khatib ini tidak berlarut-larut. Namun demikian, hal itu kembali kepada para ormas Islam dan ulama karena mereka yang akan terlibat secara aktif dalam prosesnya.
Ditanya terkait sanksi, Menag mengaku, tidak berpikir apakah sampai harus ada sanksi yang diberlakukan. Menurutnya, standardisasi diperlukan untuk mengedukasi masyarakat dan takmir masjid agar lebih selektif dalam menghadirkan khatib shalat Jumat. Sebab, esensi khutbah Jumat adalah mengajak, menasihati, serta berwasiat dengan cara bijak dan arif.
Standardisasi khatib Jumat, lanjut Menag, juga diberlakukan di beberapa negara. Malaysia, Singapura, Brunei, Mesir, dan Turki juga melakukan pengaturan tersendiri terkait khatib shalat Jumat.