Selasa 31 Jan 2017 08:06 WIB

Duka dari Hutan Lawu

Rep: rizma riyandi/andrian saputra/muhammad nursyamsi/mabruroh/fitriyan zamzami/ Red: Fitriyan Zamzami
Sejumlah pendaki menikmati matahari terbit di Sendang Drajat kawasan Puncak Gunung Lawu, Perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Jumat (19/8).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Sejumlah pendaki menikmati matahari terbit di Sendang Drajat kawasan Puncak Gunung Lawu, Perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Jumat (19/8).

REPUBLIKA.CO.ID, Jumat malam itu, 20 Januari 2017, gedung milik Universitas Islam Indonesia (UII) di Jalan Teuku Cik Ditiro, Yogyakarta, tiba-tiba ramai disambangi mahasiswa. Puluhan mahasiswa dari Jurusan Teknik Elektro turun gunung jauh ke selatan dari kampus mereka di Jalan Kaliurang, Sleman.

Musababnya, beredar kabar saat itu bahwa salah satu rekan mereka meregang nyawa saat mengikuti The Great Camping (TGC) Mapala Unisi di hutan Gunung Lawu, Karanganyar. Namanya Muhammad Fadhli (19), masuk pada angkatan 2015.

Para mahasiswa tersebut punya tujuan meminta kejelasan dari pihak Mapala Unisi yang berposko di Jalan Teuku Cik Ditiro. Sekira belasan anggota mapala tengah berada di posko kala itu. Di dalam posko, mereka terduduk lemas selepas mendengar kabar kematian. Kematian pertama dari dua lainnya yang menjelang. 

Sebelum kejadian kemarin, prestasi Mapala Unisi di bidang SAR sedianya terbilang mentereng. Tahun lalu, unit khusus pecinta alam ini baru saja menyabet juara III pada International Urban Search and Rescue (IUSAR) di Turki sebagai satu-satunya wakil dari Indonesia.

Karena keahlian dan kelihaian dalam mengevakuasi korban kecelakaan di alam, Mapala Unisi mendapat berbagai gelar seperti Pulung, Badak Gila, dan Pasukan Tiga Detik. Mapala Unisi pun selalu terlibat di hampir semua kegiatan penanganan kebencanaan dan pengabdian masyarakat termasuk Tsunami Aceh 2004, Erupsi Merapi 2010, serta banjir Garut dan banjir Bima tahun lalu.

Keahlian tersebut membutuhkan latihan yang rutin dan pengetahuan yang mendalam. Maka itu organisasi yang berdiri pada 3 Juli 1974 ini memiliki kurikulum sendiri untuk mengasah keterampilan anggotanya.

Pendidikan anggota Mapala Unisi terdiri dari beberapa tahap. Di antaranya The Great Camping (TGC), The Senior Camping (TSC), Advance Trainer, dan Training and Trained (TT). Namun begitu, yang dilaksanakan selama ini hanya TGC dan TSC.

TGC biasanya dilaksanakan selama delapan hari dengan juklak dan juknis yang dibuat panitia. Dimulai dari pengenalan lapangan, mountainering, hingga pelatihan menyintas atau survival. Sebelum terjum ke lapangan calon peserta biasanya diharuskan menjalani tes kesehatan lebih dulu. Jika tidak memenuhi keriteria, calon peserta yang bersangkutan tidak akan diperbolehkan ikut.

Untuk pelaksanaan TGC-37 tahun ini, para senior, panitia, serta para siswa akan berangkat ke hutan Gunung Lawu, Karanganyar, pada Jumat (13/1). Dua hari sebelumnya, materi kelas sudah dimulai. Rupa-rupa bekal teori pencinta alam diajarkan kepada para calon anggota. Pelatihan di alam bebas rencananya bakal dilaksanakan hingga 22 Januari 2016.

Tiba di Lawu, puluhan panitia dan peserta mampir terlebih dulu di basecamp induk yang berlokasi di kediaman Pak Joko Suratin di Dukuh Telogodringo, Tawangmangu. Menurut Joko Suratin, sebagian panitia langsung mengisi kemah induk, sedangkan peserta dan sebagian panitia lainnya diturunkan di lapangan tak jauh dari kemah induk.

Para peserta kemudian dibagi dalam grup-grup yang masing-masing berisi tujuh orang atau lebih. Masing-masing grup dikomandoi tiga orang panitia operasional. Dua orang dari 37 peserta saat itu, Syaits Asyam (19) dan Ilham Nurfadmi Listia (20) jadi rekan satu regu. Anggota lainnya, Muhammad Fadhli dapat regu lain. Personel operasional yang menangani mereka berbeda-beda pula.

Setelah membentuk kelompok, panitia operasional dan peserta berangkat ke kawasan Watu Lumbung di hutan Gunung Lawu, dengan waktu tempuh sekitar 30 menit berjalan kaki. Jalur menuju Watu Lumbung relatif landai. Para siswa, menurut pengakuan peserta, sudah mulai mendapat bentakan-bentakan saat itu.

Watu Lumbung dan Dukuh Telogodringo memiliki ketinggian sekitar 1.800 meter di atas permukaan laut (mdpl). Siang hari, suhu di kawasan tersebut berada pada kisaran 19-17 derajat celcius. Namun dari sore hingga menjelang malam suhu di daerah itu bisa di kisaran 10 derajat celcius. Selain dataran untuk berkemah, di Watu Lumbung juga terdapat tebing bebatuan. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement