REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Pemerintah Sudan Berencana mencabut subsidi bahan pangan dan bahan bakar minyak (BBM) pada 2019. Hal ini merupakan dampak dari pencabutan sanksi ekonomi oleh Amerika Serikat (AS) terhadap negara tersebut.
Pada hari-hari terakhir kepemimpinan Barrack Obama, pejabat AS di Washington mengumumkan mengakhiri embargo perdagangan ke Sudan yang sudah berlangsung selama 20 tahun. Dengan begitu Sudan bisa bekerja sama dengan AS dan negara-negara lainnya di dunia guna memperjuangkan ekonomi negara Islam itu.
"Pencabutan sanksi Amerika Serikat menjadi titik balik perekonomian Sudan," kata Menteri Keuangan Sudan, Magdi Hassan Yasin, dalam sebuah pernyataan dikutip dari Reuters, Senin (30/1) waktu setempat.
Meski demikian perjalanan Sudan untuk menjalin kerja sama dengan AS bakal berjalan sulit. Hal ini menyusul larangan Presiden AS Donald Trump terhadap para imigran dari tujuh negara termasuk Sudan untuk berkunjung ke negeri Paman Sam.
Namun belum jelas apakah larangan tersebut berdampak pada hubungan perdagangan antardua negara itu. Mengenai pencabutan subsidi, sejak bulan November 2016, pemerintah Sudan sudah memotong subsidi BBM dan listrik termasuk pembatasan impor. Yasin mengatakan pada 2019 target mereka menghapus semua subsidi.
Pemerintah Sudan, kata Yasin, mempertimbangkan membuat aturan yang memungkinkan investor bisa masuk ke negara tersebut. Terutama di sektor produksi dan infrastruktur listrik.
"Sudan hanya menghasilkan 34 persen dari kebutuhan listrik seluruhnya, sehingga pintu investasi terbuka di bidang ini, terutama setelah Sanksi AS dicabut," ujarnya.