REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto mendorong dilakukannya evaluasi sistem seleksi hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini disampaikannya menyusul penangkapan hakim MK Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Kita melihat kembali, mengevaluasi kembali sistem seleksi. Jangan-jangan sistem seleksinya salah, kalau salah ya kenapa tidak diperbaiki, kan gitu," katanya di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (31/1).
Wiranto menyampaikan, pemerintah masih kecolongan dengan sistem seleksi hakim MK saat ini. Terbukti dengan adanya penangkapan terhadap hakim MK Patrialis Akbar. Hal ini, kata dia, menunjukan ada sesuatu yang kurang tepat dalam sistem seleksi yang digunakan. Karena itu, Wiranto mengatakan pemerintah perlu mempelajari kembali proses seleksi yang tepat untuk menunjuk calon hakim MK.
"Ya saya kira kalau sekarang ternyata kebobolan, sesuatu yang sudah berulang seperti ini tentunya ada yang salah dalam seleksi," ujarnya.
"Sebab seleksi itu kan menentukan yang terbaik, tatkala hasil seleksi output nya tidak terbaik berarti ada yang salah dalam proses seleksi. Kita pakai logika yang sangat normatif, maka tentunya kita perlu pelajari lagi, seleksinya bagaimana, kenapa kecolongan berkali-kali," jelas Wiranto.
Wiranto pun mendukung proses seleksi hakim MK yang dilakukan secara terbuka sehingga dapat menemukan figur yang tepat. Sebab, MK merupakan lembaga yang keputusannya final dan mengikat.
"Jadi figur-figur yang dipilih itu kan masyarakat harus tahu, siapa, latar belakangnya bagaimana, tidak ujug-ujug muncul begitu kan ndak bisa. Jadi saya kira Presiden arahkan terbuka ya saya kira benar," kata Wiranto.
Wiranto menyampaikan dalam proses penunjukan hakim MK kali ini agar tak dilakukan dengan proses yang sama seperti sebelumnya. Proses seleksi harus dilakukan secara ketat. "(Penunjukan langsung) Kemarin kan sudah lewat. Kemarin begitu ya jangan sampai begitu lagi," ucapnya.
Patrialis Akbar yang ditangkap oleh KPK karena diduga telah menerima suap senilai 20 ribu dollar AS dan 200 ribu dollar Singapura, merupakan hakim MK yang ditunjuk secara langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2013.
Sistem pemilihan Patrialis ini dinilai masyarakat tidak transparan. Selain itu, masyarakat juga tidak dapat memberikan masukan terkait penunjukan tersebut.