REPUBLIKA.CO.ID, OSLO -- Kementerian Luar Negeri Islandia mengecam keputusan AS melarang masuk imigran, , pengungsi, dan warga negara dari tujuh negara dengan mayoritas warga Muslim. Kementerian menganggap keputusan yang diteken Presiden Donald Trump itu sebagai kekeliruan.
Menteri Urusan Luar Negeri Islandia Gudlaugur Thor Thordarson di dalam satu pernyataan, berkata, penutupan perbatasan buat orang yang menyelamatkan diri dari perang dan diskriminasi terhadap orang dengan dasar kewarganegaraan dan agama akan menjadi cara yang keliru untuk meningkatkan keamanan dan mengirim pesan keliru.
"Imigran dan pengungsi menyediakan sumber daya manusia dan sangat banyak pengalaman yang memperkaya masyarakat," kata Thordarson seperti dikutip media Islandia pada Senin (30/1).
Menurut surat kabar daring Iceland Monitor, Menteri Kesehatan Ottarr Propee dan Menteri Keuangan Benedikt Johannesson dengan keras juga telah menentang keputusan AS tersebut.
"Kita semua harus memprotes! Sungguh tragis untuk mengalami praduga dan kejahatan yang diperlihatkan oleh Presiden baru Amerika Serikat terhadap imigran dan pengungsi," tulis Proppe dalam satu pernyataan di Facebook, sebagaimana dikutip Xinhua, Selasa (31/1).
"Semua warga Islandia harus mendukung kebebasan dan memperlihatkan ketidak-setujuan mereka terhadap keputusan Trump," tulis Johannesson di laman Facebooknya.
Berdasarkan perintah eksekutif yang ditandatangani oleh Presiden AS Donald Trump pada Jumat (27/1), pengungsi dari seluruh dunia akan ditangguhkan memasuki Amerika Serikat selama 120 hari sementara semua imigran dari apa yang disebut "negara dengan keprihatinan terorisme" akan ditangguhkan selama 90 hari.
Semua negara yang termasuk di dalam larangan itu adalah Irak, Suriah, Iran, Sudan, Libya, Somalia, dan Yaman. Seluruh penduduk negara itu berjumlah lebih dari 130 juta.