Rabu 01 Feb 2017 06:48 WIB

Pengamat: Pemerintahan Trump Cenderung Anti-Globalisasi

Unjuk rasa menolak kebijakan Trump yang melarang pendatang muslim ke Amerika di Boston, Massachusetts.
Foto: Brian Snyder/Reuters
Unjuk rasa menolak kebijakan Trump yang melarang pendatang muslim ke Amerika di Boston, Massachusetts.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintahan Amerika Serikat yang baru di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump cenderung bersifat antiglobalisasi, demikian kata pengamat hubungan internasional dari Universitas Johns Hopkins, AS, Vali R Nasr.

"Dia (Trump) adalah jenis orang yang antiglobalisasi. Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Trump sangat kurang melakukan tindakan yang bersifat globalisasi, seperti mendukung sekutu AS atau mendukung kemakmuran di tempat lain," ujar Vali R Nasr di Jakarta, Selasa (31/1).

Pernyataan tersebut dia sampaikan dalam satu forum yang membahas tentang arah kebijakan luar negeri dan pertahanan AS masa pemerintahan Presiden Donald Trump. Menurut Nasr, Presiden Trump dengan kecenderungan antiglobalisasi akan memimpin AS dengan gaya yang sangat berbeda dengan Obama, dan AS tampaknya tidak akan terlalu mementingkan kerja sama dengan sekutu dalam menyelesaikan masalah.

"Pemerintahan Obama sangat sangat berfokus dalam penanganan masalah bersama sekutu. Misalnya, bekerja bersama negara ASEAN dalam berurusan dengan isu Laut Cina Selatan, bekerja sama dengan negara-negara Eropa untuk menangani isu Libya dan Suriah," ujar dia.

Nasr mengatakan, kecenderungan antiglobalisasi dalam pemerintahan Trump juga dapat terlihat dari kebijakan-kebijakan baru AS yang tampaknya menarik diri dari keterlibatan dalam urusan global.

"Trump membuat AS menarik diri dari kesepakatan penanganan perubahan iklim dan kemitraan perdagangan, seperti Kemitraan Trans-Pasifik (TPP)," ucap dia.

"Pemerintahan Trump sebenarnya tidak benar-benar percaya pada kepemimpinan global AS. Dia tidak percaya pada peranan AS dalam mejaga keamanan dunia dan penerapan sistem internasional," lanjut dia.

Terkait dengan isu keamanan, Nasr menilai bahwa Presiden Trump melihat isu keamanan hanya sebatas keamanan fisik, seperti pengamanan di perbatasan dan membangun dinding pembatas.

"Ketika kita berbicara tentang keamanan, kita seharusnya juga membahas tentang keseimbangan antarnegara. Namun, definisi Trump tentang keamanan itu lebih tentang keamanan fisik, membangun dinding dan mencegah orang-orang yang dianggap melemahkan populasi Amerika untuk masuk," jelas dia.

Padahal, lanjut Nasr, keamanan suatu negara adalah suatu hal yang juga melibatkan peran kebijakan luar negeri yang baik.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement