Rabu 01 Feb 2017 11:43 WIB

Tuduhan Percakapan Kiai Ma'ruf dan SBY Sangat Serius

Rep: Amri Amrullah/ Red: Teguh Firmansyah
Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjalani sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (24/1).
Foto: Antara
Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjalani sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (24/1).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Tuduhan Ahok dan penasihat hukumnya terkait adanya percakapan Ketua Umum MUI, KH. Ma'ruf Amin dengan mantan Presiden SBY perlu dibuktikan. Sebab hal itu disampaikan di muka persidangan yang harus sesuai data dan fakta dan berkekuatan hukum.

Penasihat Tim Advokasi GNPF, Mahendradatta mengatakan tuduhan percakapan tersebut sangat serius bila tidak bisa dibuktikan. Kalau tidak bisa dibuktikan, menurutnya akan berkonsekuensi hukum.

Maka akan lebih baik kalau diklarifikasi, atau mengakui kalau pernyataan tersebut hanya bohong. "Kalau itu sebuah kebohongan maka dengan demikian mereka mengatakan sesuatu yang tidak benar di muka hakim, yang masuk dalam catatan pengadilan," ujarnya kepada Republika.co.id, Rabu (2/1).

Menurutnya, kalau sudah masuk ke dalam catatan pengadilan, maka pernyataan tersebut telah menjadi bukti di pengadilan. Konsekuensinya itu telah menjadi pernyataan otentik. JIka itu hanya menjadi omongan warung kopi beda persoalan.

Baca juga,  Ahok Nilai Ketua MUI KH Ma'ruf Amin Berbohong.

Pembuktian omongan, kata ia, juga harus disertai rekaman percakapan. Dan ini justru mengarah pada penyadapan, yang juga berpotensi membuat Ahok dan tim penasihat hukumnya berhadapan kembali dengan aturan pidana. Karena masyarakat umum tidak punya hak untuk menyadap.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement