Rabu 01 Feb 2017 16:27 WIB

Sejumlah Mantan Hakim MK Berkumpul Bahas Kasus Patrialis Akbar

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andi Nur Aminah
Jimly Assidiqie
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Jimly Assidiqie

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie dan beberapa mantan hakim konstitusi mengadakan pertemuan dengan pimpinan MK yang saat ini dipimpin Arief Hidayat. Salah satu yang dibahas termasuk kasus korupsi yang menjerat Patrialis Akbar.

"Sebagian besar mantan-mantan hakim kaget, sedih, kecewa. Apalagi hakim generasi pertama pendiri MK," tutur Jimly usai pertemuan di kantor MK, Rabu (1/2).

Dari pertemuan tersebut, Jimly mengatakan, disepakati bahwa memang kasus suap atas uji materi UU nomor 41 2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan, itu murni masalah pribadi. "Kami tukar pikiran mengenai masalah terakhir. Secara terbuka dan terus terang, maka kesimpulan kami memang masalah yang terjadi dengan saudara Patrialis Akbar ini betul-betul masalah pribadi, masalah personal," tutur dia.

Modus masalah tersebut Jimly menyebutkan yakni dengan membocorkan rahasia putusan yang sebetulnya belum final. Putusan yang belum final ini sebetulnya masih bisa dilakukan permusyawaratan kembali. "Ini modusnya pembocoran rahasia putusan. Putusan belum final tapi sudah dibocorkan, dalam arti masih ada permusyaratan lagi," kata dia.

Sama seperti kasus suap yang menimpa Akil Mochtar, kasus suap Patrialis juga harus dilihat sebagai masalah personal dan tidak berkaitan dengan institusi. "Hakim MK sembilan orang independen satu sama lain. Seperti tercemin di tiang MK, yang berjumlah sembilan," tutur dia.

Di antara mantan hakim konstitusi yang hadir menemani Jimly adalah Maruarar Siahaan, Mohammad Laica Marzuki, Abdul Mukhthie Fadjar, Achmad Roestandi, dan Ahmad Syarifuddin Natabaya.

Selain itu, Jimly mengatakan, pertemuan tersebut juga membahas ihwal apa yang harus diperbaiki dalam diri MK di waktu ke depan. Lanjut dia, budaya internal di MK tentu menjadi bagian yang harus mendapat perbaikan. Juga, sistem rekrutmen hakim konstitusi yang perlu diperbaiki.

Karena itu, hasil pertemuan tersebut juga mengusulkan agar presiden, ketua DPR, ketua Mahkamah Konstitusi dan ketua Mahkamah Agung melakukan pertemuan untuk mendiskusikan soal perbaikan terhadap kelemahan yang ada di MK selama ini. Termasuk, soal sistem rekruitmen sebelum Undang-undang berubah.

"Sebelum UU berubah, tentu harus ada perbaikan. Kita harus memperbaiki dari segi implementasi, misalnya mekanisme rekruitmen dari presiden. Yang tiga dari presiden, tiga dari MA, tiga oleh DPR," ujar dia.

Jimly menyatakan, tiap instansi tersebut perlu mengatur mekanisme perekrutan hakim masing-masing. Artinya, tiap lembaga itu perlu membuat aturan tersendiri soal perekrutan. Presiden dengan peraturan presidennya, dan Mahkamah Agung dengan permanya. Sementara untuk perekrutan hakim konstitusi dari DPR, sudah ada aturan berupa tatib.

"Bisa diperbaiki dengan mengatur masing-masing. Sampai sekarang belum ada perpres, perma, baru ada peraturan tatib DPR. Tapi substansinya sebaiknya didiskusikan bersama," tutur dia.

Jimly mengatakan, bukan hanya mengenai prosedurnya yang perlu diatur tapi juga persyaratan lainnya. Karena hakim MK satu-satunya pejabat yang dalam UUD disebut sebagai negarawan. "Maka itu kita harus menjaganya dengan sebaik-baiknya," ujar dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement