Rabu 01 Feb 2017 16:59 WIB

Mantan Hakim MK Berharap Seleksi Hakim Lebih Terbuka

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Andi Nur Aminah
  Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat bersiap memberikan keterangan pers terkait Kasus yang melibatkan salah satu hakim Konstitusi inisial PA di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/1).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat bersiap memberikan keterangan pers terkait Kasus yang melibatkan salah satu hakim Konstitusi inisial PA di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Harjono berharap kasus suap yang melibatkan hakim MK tak kembali terjadi. Sebab, menurut dia, banyaknya kasus yang menjerat hakim MK justru membuat lembaga tersebut sulit untuk kembali mengangkat martabatnya.

"Di mana itu tidak menjadi pembelajaran dari kasus pak Akil, kedua kalinya terjadi dan itu memprihatinkanlah buat saya. Oleh karena itu, ini terakhir lah. Karena apa? Susah banget mengangkat (martabat MK) untuk bisa kembali," kata Harjono di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (1/2).

Menurut dia, kasus suap yang kembali terjadi di tubuh MK ini membuat para hakim lainnya tertantang untuk memperbaiki kondisi tersebut. Harjono berharap pansel yang dibentuk nantinya untuk mencari pengganti Patrialis harus dapat menemukan figur yang tepat sehingga kasus serupa tak kembali terjadi.

"Kalau itu untuk membuat timsel, ya diharapkan di timsel itulah nantinya bisa dicarikan orang-orang yang bener negarawan itu. Jangan sampai terlilit dalam kasus-kasus seperti ini lagi," ucap dia.

Ia menilai, proses seleksi hakim MK yang dilakukan secara terbuka dapat mendorong adanya hakim yang bersih dari kasus korupsi. Karena itu, Harjono mengatakan sistem seleksi yang terbuka ataupun transparan perlu dilakukan.

"Karena di dalam rekruitmen ada persyaratan-persyaratan tentang keterbukaan dan sebagainya. Lah itu sebetulnya sejauh itu yang kemudian presiden (SBY) lakukan kepada Pak Patrialis, agaknya beda," kata Harjono.

Harjono mengaku sempat mendengar dari staf SBY bahwa dilakukan proses rekruitmen untuk memilih hakim MK Patrialis saat itu. Namun, menurutnya, proses seleksi tersebut tak dilakukan secara terbuka. Karena itu, sistem rekruitmen Patrialis tersebut sempat dipermasalahkan lantaran tak dilakukan secara transparan.

"Oleh karena itu, ICW memasalahkan di PTUN kan. Itu suatu bentuk dari usaha untuk katakan saja menjadikan proses pemilihan ini dilakukan tebuka," ujarnya.

Patrialis Akbar yang ditangkap oleh KPK karena diduga telah menerima suap senilai 20 ribu dollar AS dan 200 ribu dollar Singapura, merupakan hakim MK yang ditunjuk secara langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2013. Sistem pemilihan Patrialis ini dinilai masyarakat tidak transparan. Selain itu, masyarakat juga tidak dapat memberikan masukan terkait penunjukan tersebut.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement