REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sepanjang sejarah, Georgia menjadi wilayah yang diperebutkan oleh kerajaan-kerajaan Muslim, seperti Timurid, Turki Usmani, serta Dinasti Safawiyyah. Memasuki abad ke-14, Georgia kembali dikuasai Kerajaan Islam. Dinasti Timurid yang dipimpin Timur Lenk menguasai Tbilisi--ibu kota Georgia--pada tahun 1386 M.
Kekuasaan Dinasti Timurid pun terbentang dari Asia Tengah hingga Anatolia. Ketika berhasil menguasai Tbilisi, pasukan tentara Timur Lenk menangkap raja Bagrat V. Pada akhir 1401, pasukan tentara Timur Lenk menginvansi wilayah Kaukasus. Raja Georgia pun mengajukan perdamaian dengan mengirimkan utusan kepada Timur Lenk.
Perhatian Dinasti Timurid untuk menguasai seluruh wilayah Georgia terpecah, karena harus menghadapi pengaruh Dinasti Turki Usmani yang mulai membesar.
Timur Lenk pun menyetujui perdamaian dengan Raja Georgia dengan syarat membantu mengirimkan pasukan.
Setelah Dinasti Timurid runtuh, Georgia menjadi rebutan Dinasti Safawiyah dan Turki Usmani. Dari abad ke-16 hingga ke-18, kedua kerajaan Islam itu berebut pengaruh dan kekuasaan di kawasan Kaukasus. Kedua kerajaan itu pada 29 Mei 1555 menandatangani kesepakatan di Amasya.
Wilayah Georgia dibagi menjadi dua bagian. Georgia Barat meliputi wilayah bagian barat dan selatan menjadi kekuasaan Turki Usmani, sedangkan Georgia Timur masuk dalam genggaman Dinasti Safawiyah.
Dominasi Dinasti Safawiyah di Georgia telah menyebabkan terjadinya migrasi suku-suku Turki dari wilayah tersebut. Proses Islamisasi pun terjadi di berbagai daerah. Tak hanya itu, syariat Islam juga ditegakkan dalam kehidupan sehari-hari.
Di Georgia Timur, Kekaisaran Safawiyah mempercayakan wilayah itu pada Kerajaan Kartli. Pada 1716, penguasa Kartli, Vakhtang VI, memeluk Islam dan penguasa Safawiyah menjadikannya sebagai raja Kartli. Bakhtang IV lebih memilih pro-Rusia.
Memasuki abad ke-19 M, dua kekuatan Islam di Georgia, yakni Dinasti Turki Usmani dan Safawiyyah mulai meredup. Kekuatan umat Islam di Georgia pun semakin melemah. Pada masa itu, Kristen Rusia di bawah pimpinan Tsar menguasai Georgia. Jumlah umat Islam pun kian menyusut meski tak sampai hilang.
Kondisi umat Islam kian terjepit di awal masa kekuasaan Soviet. Ideologi atheis yang dipegang rezim pada masa itu berupaya mematikan semua agama, termasuk Islam. Undang-undang Islam (Syariah) yang telah diberlakukan di beberapa wilayah yang ditempati umat Islam akhirnya dihapus pada 1926.
Untunglah, kondisi itu segera berubah. Sejak 1944, politik antiagama mulai berkurang. Seiring munculnya kebijakan Perestroika, umat Islam kembali bisa beribadah. Lewat sebuah kompromi, kaum Muslim mendapat kebebasan untuk menjalankan ibadah. Saat Perang Dunia II, Pemerintah Soviet mendirikan Dewan Agama Muslim untuk mengendalikan umat Islam di daerah tersebut.
Sejak pecahnya Uni Soviet, umat Islam Georgia mulai membangun jaringan dengan organisasi di luar nenegri seperti Iran dan Turki. Menurut laman Caucaz, jumlah umat Muslim di Georgia terus menurun. Jika pada 1989 jumlahnya mencapai 640 ribu jiwa atau setara 12 persen dari total populasi penduduk, pada 2009 hanya tinggal mencapai 423 ribu jiwa atau setara 9,9 persen dari jumlah penduduk.
Salah satu faktor yang membuat jumlah umat Islam menurun, menurut laman Caucaz, terjadi karena banyaknya umat Islam yang hijrah ke Rusia untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak, serta ada juga yang migrasi ke Azerbaijan karena alasan keluarga.