REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Gedung Putih menarik janjinya menghormati kesepakatan pengungsi dengan Australia, dengan menyebut Presiden Donald Trump masih mempertimbangkan keberlangsungan kesepakatan itu. Klarifikasi ini muncul setelah Sekretaris Pers Gedung Putih Sean Spicer mengatakan kesepakatan itu akan terus berlanjut dengan adanya pemeriksaan ekstrem terhadap para pengungsi.
Dalam keterangannya kepada ABC, salah seorang sumber di Gedung Putih mengatakan, jika Presiden memutuskan untuk menghormati kesepakatan itu, hal tersebut terjadi hanya karena "hubungan panjang Amerika dengan Australia".
ABC telah berbicara dengan para pejabat Australia yang mengatakan kesepakatan pemukiman pengungsi telah dikonfirmasi dalam percakapan antara Presiden Trump dengan Perdana Menteri Malcolm Turnbull pada Ahad (29/1).
Para pejabat itu mengatakan, Presiden Trump telah menginstruksikan pejabat Departemen Dalam Negeri (Depdagri) AS untuk "melanjutkan kesepakatan tersebut", dan mengatakan hal tersebut telah diperkuat oleh pejabat Depdagri AS dalam pertemuan mereka dengan para pejabat Australia di Washington, Rabu (1/2).
Baca: Pendukung Trump Serukan Boikot Starbucks Lewat Medsos
Sementara itu ketika ditanya mengenai kesepakatan itu pada Rabu (1/2), Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull mengatakan pemerintahan Trump tetap berkomitmen terhadap kesepakatan tersebut. "Itu adalah jaminan yang Presiden berikan kepada saya ketika kami berbicara pada akhir pekan," ujar PM Turnbull.
PM Turnbull mempertahankan proses pemeriksaan yang berlangsung di luar wilayah negara, seraya berharap bahwa hal itu dilakukan dengan "sangat, sangat ketat".
"Kami tak menimbang atau berkompromi untuk menjaga warga Australia tetap aman, dan pemerintah Amerika Serikat-pun memiliki sikap yang sama," kata sang PM.
"Jadi, pemeriksaan akan selalu ketat dan selalu menjadi bagian dari kesepakatan tersebut. Tentu, Pemerintah Amerika Serikat-lah yang menentukan siapa yang masuk ke Amerika Serikat. Pemerintah Australia menentukan siapa yang masuk ke Australia. Dan mereka akan melakukan pemeriksaan ketat mereka sendiri terhadap orang-orang yang memenuhi, atau berpotensi memenuhi, kriteria kesepakatan itu," jelasnya.
Kesepakatan mencakup lebih dari 100 pengungsi
Sebelumnya, Sean Spicer mengatakan, kesepakatan, yang dicapai antara pemerintahan Obama dengan pemerintahan Turnbull, itu akan mencakup sekitar 1.250 pengungsi, sebagian besar berasal dari 7 negara mayoritas Muslim yang tercakup dalam larangan imigrasi sementara Trump.
"Akan ada pemeriksaan ekstrim yang diberlakukan terhadap semua dari mereka. Itu adalah bagian dari kesepakatan yang dibuat, dan [kesepakatan] ini dibuat oleh pemerintahan Obama dengan dukungan penuh dari Pemerintah Amerika Serikat," terang Spicer.
Menurut statistik terbaru dari Departemen Imigrasi Australia, ada 871 pengungsi di Pulau Manus dan 383 pengungsi di Nauru. Dari informasi yang diperoleh ABC, sebagian besar pengungsi berasal dari Iran, dengan beberapa di antaranya berasal dari Irak dan Somalia, tiga negara yang masuk dalam daftar larangan imigrasi pemerintahan Trump.
Pada pertemuan sebelumnya, Menteri Dalam Negeri AS, John Kelly, mengatakan "kami melihat berbagai pilihan sekarang" berkaitan dengan "pemeriksaan ekstrem".
"Ada banyak negara -tujuh yang kami tangani sekarang -yang dalam pandangan kami, tak memiliki penegakan hukum, rekam jejak yang bisa meyakinkan kami bahwa salah satu warganya memang seperti apa yang mereka akui dan begitu pula latar belakangnya," utara Kelly.
"Jadi kami sedang mengembangkan seperti apa pemeriksaan tambahan, pemeriksaan ekstrim itu, dan kami pasti akan bekerja sama dengan sejumlah negara dalam hal ini," sambungnya.
Informasi kunci:
• Kesepakatan pengungsi menyangkut 1.250 orang, beberapa berasal dari 7 negara yang masuk daftar larangan Trump
• Kesepakatan dicapai antara pemerintahan Obama dengan pemerintah Turnbull
• Presiden Trump masih menimbang apakah ia akan menghormati kesepakatan itu setelah larangan imigrasi menunda Program pengungsi AS.
Kesepakatan menggantung akibat larangan imigrasi
Kesepakatan itu menggantung setelah Presiden Trump menandatangani sebuah perintah eksekutif yang menangguhkan program pengungsi negaranya. Pada Sabtu (28/1), Presiden Trump memberlakukan larangan masuk ke AS selama empat bulan terhadap para pengungsi dan untuk sementara melarang masuk wisatawan dengan paspor dari tujuh negara mayoritas Muslim.
Pada Ahad (29/1), Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull berbicara dengan Presiden Trump melalui telepon, selama pembicaraan itu, Presiden Trump dianggap setuju untuk menghormati kesepakatan tersebut. Sebelum panggilan itu, PM Turnbull mengatakan, ada bagian dalam larangan imigrasi Trump yang menyatakan, para pejabat masih bisa menerima pengungsi di bawah perjanjian internasional yang sudah ada.
Dari informasi yang diperoleh ABC, bagian itu termasuk dalam versi final dari larangan imigrasi Trump setelah kantor Perdana Menteri Australia turun tangan. "Kami sangat yakin dan puas bahwa kesepakatan yang ada akan terus berlanjut," kata PM Turnbull sebelum berbicara dengan Presiden Trump.
"Cukup jelas disebutkan oleh pemerintah AS dalam larangan itu mengenai kemampuan untuk menangani kesepakatan yang sudah ada," imbuhnya.
Pekan lalu, pejabat senior Pemerintahan Australia mengatakan kepada ABC, mereka yakin larangan itu tak akan berdampak banyak pada kesepakatan yang ada -yang ditandatangani akhir tahun lalu oleh mantan Presiden Barack Obama -untuk menampung para pengungsi Pulau Manus dan Nauru. Otoritas Australia berharap untuk mulai memindahkan para pengungsi ke AS pada awal tahun ini.
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.
Diterbitkan: 17:20 WIB 1/2/2017 oleh Nurina Savitri.