REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bicara Islam di Cina, maka harus menyertakan Xinjiang di dalamnya. Mengapa?
Ya, karena Xinjiang adalah rumah bagi setidaknya sepertiga Muslim di Cina. Dari total 25 juta Muslim di Negeri Tirai Bambu, sebanyak 8,5 juta di antaranya hidup di Xinjiang. Sementara, dari 300 ribu masjid di Cina, 23 ribu di antaranya ada di Xinjiang.
Xinjiang adalah sebuah daerah otonomi— bukan provinsi—di Cina. Nama lengkapnya adalah Daerah Otonomi Uighur Xinjiang. Xinjiang berbatasan dengan Daerah Otonomi Tibet di sebelah selatan dan Provinsi Qinghai serta Gansu di tenggara.
Wilayah ini juga berbatasan dengan Mongolia di sebelah timur, Rusia di utara, serta Kazakstan, Kirgistan, Tajikistan, Afghanistan, dan Kashmir di barat. Xinjiang juga mencakup sebagian besar wilayah Aksai Chin, yang diklaim India sebagai bagian dari Negara Bagian Jammu dan Kashmir.
Secara harfiah, Xinjiang bermakna “perbatasan baru” atau “daerah baru”, sebuah nama yang diberikan semasa Dinasti Qing Manchu. Bagi para pendukung kemerdekaan Xinjiang, nama ini terasa sinis dan menyakitkan hati sebab mereka sejatinya lebih menyukai nama lokal yang bersejarah atau yang berkaitan dengan gerakan kemerdekaan, seperti Turkestan Cina, Turkestan Timur, atau Uighuristan.
Penduduk asli Xinjiang berasal dari ras-ras Turki yang beragama Islam, terutama suku Uighur (45,21 persen) dan suku Kazakh (6,74 persen). Selain itu, di Xinjiang juga terdapat suku Han yang merupakan suku mayoritas di Cina. Menurut sensus tahun 2000, jumlah suku Han di Xinjiang mencapai 40,58 persen.
Ini adalah peningkatan jumlah yang sangat drastis dibandingkan pada 1949 saat berdirinya Republik Rakyat Cina. Kala itu, belum banyak suku Han yang hidup di Xinjiang, hanya sekitar enam persen.