REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan mulai membahas detail teknis aturan perpajakan atas tanah idle atau menganggur. Namun, mengenai rincian parameter suatu tanah bisa disebut idle ini yang hingga kini belum bisa disepakati oleh pemerintah.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan, pada prinsipnya pemerintah ingin menangkap peluang penerimaan dari kepemilikan tanah atau lahan yang tidak menghasilkan aktivitas ekonomi. Pemerintah, kata Suahasil, juga ingin agar pemanfaatan tanah bisa ikut menyejahterakan masyarakat lainnya.
"Kita diskusikan, kita lihat instrumen yang ada seperti apa. Pajak atas tanah tuh apa saja. Kita cocokkan dengan Kementerian ATR (Agraria dan Tata Ruang). Lalu sistem pajak yang ada untuk mencapai hasil itu, yang mana saja," kata Suahasil di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (2/2) malam.
Suahasil juga menyebutkan, hingga kini belum ada ketetapan mekanisme pemajakan atas tanah idle akan dikenakan pada jenis pajak yang mana. Pemerintah sedang menyiapkan kebijakan pemajakan tanah, khususnya tanah yang menganggur atau tak produktif. Tujuannya, agar kepemilikan tanah lebih merata dan pemilik tanah terdorong membuat aktivitas ekonomi di atas lahan mereka.
Opsi pertama yang disiapkan, yakni pajak progresif kepemilikan tanah. Semakin luas kepemilikan tanah suatu badan atau pribadi maka pajak yang dikenakan akan semakin tinggi. Opsi kedua adalah capital gain tax, di mana pajak transaksi tanah akan digantikan dengan skema tersebut. Artinya, pajak akan dikenakan pada nilai tambah dari harga suatu tanah. Sementara opsi ketiga adalah unutilized asset tax di mana perusahaan atau pribadi yang memiliki tanah secara luas tanpa memiliki perencanaan pemanfaatan yang jelas akan dikenakan pajak landbank.
Baca juga: Pemerintah Siapkan 3 Opsi Pungutan Pajak Tanah Menganggur