Jumat 03 Feb 2017 20:07 WIB

Larangan Perjalanan Trump Tuai Protes di Roma

Demonstran memprotes perintah eksekutif Presiden AS Donald Trump yang melarang Muslim dari tujuh negara memasuki AS. Protes berlangsung di depan Kedubes AS di Roma, Italia, 2 Februari 2017.
Foto: Alessandro Di Meo/ANSA via AP
Demonstran memprotes perintah eksekutif Presiden AS Donald Trump yang melarang Muslim dari tujuh negara memasuki AS. Protes berlangsung di depan Kedubes AS di Roma, Italia, 2 Februari 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, ROMA -- Pengunjuk rasa berkumpul di luar Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Roma pada Kamis (2/2) menolak kebijakan Presiden Donald Trump yang membatasi pengungsi dan warga dari tujuh negara mayoritas Muslim masuk ke AS.

Perintah eksekutif dari presiden pekan lalu telah memblokir warga dari Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman untuk memasuki AS. Sementara kebijakan menerima pengungsi dari Suriah untuk sementara dihentikan.

"Saya khawatir hal yang terburuk belum terjadi," kata Fouad Roueiha (37 tahun) yang lahir di Suriah dan dibesarkan di Italia.

Ia membawa putra dan putrinya bersamanya untuk mengajarkan mereka tentang tugas warga sipil, dan mengatakan perintah eksekutif itu mencegah mereka mengunjungi keluarga mereka di Florida. Perintah eksekutif itu memicu protes besar di seluruh Amerika Serikat dan di negara-negara lainnya.

Di Roma, beberapa lusin demonstran menggelar poster yang bertuliskan "Tidak ada larangan, Tidak ada dinding" dalam bahasa Inggris. Aksi protes dengan membawa lilin dijadwalkan diadakan kemudian di depan Kedutaan Besar oleh sekelompok warga Amerika Serikat yang tinggal di Italia.

"Jika kebijakan-kebijakan diskriminatif diterapkan, itu sangat berbahaya untuk semua orang di mana-mana," kata Michael Stiefel (50), seorang pengacara dan warga AS.

Antonella Napolitano (35) yang bekerja untuk kelompok hak-hak asasi manusia di Italia yang membantu mengatur aksi protes itu, mengatakan, "Seratus tahun lalu imigran Italia di Amerika Serikat diperlakukan buruk. Itu bisa berubah. Sejarah tidak harus terulang," ujarnya.

Pascapenandatanganan perintah eksekutif itu, 300 penentang berkumpul di Bandar Udara Internasional Los Angeles (LAX) pada Sabtu malam untuk memperlihatkan kesetiakawanan kepada pengungsi dan pendatang Muslim, yang ditahan berdasarkan atas perintah "Muslim Ban".

Sambil meneriakkan "Trump harus pergi", "Tidak Trump, Tidak KKK, Tidak Ada Fasisme di USA", dan semboyan lain, kerumunan orang itu menyeru rakyat membangkang terhadap keputusan presiden pada Jumat, yang memberlakukan larangan bepergian 90 hari ke negeri itu dan pembekuan 120 hari program pengungsi AS.

Sedikit-dikitnya tujuh warga negara asing ditahan di LAX dan diberitahu tidak lagi disambut, kata Los Angeles Times. Harian tersebut menyatakan warga negara asing itu diperkenankan naik pesawat sebelum perintah tersebut berlaku.

Larangan perjalanan Trump, yang oleh banyak pihak digambarkan sebagai "Muslim ban", telah menyulut kebingungan dan kekacauan di seluruh negeri itu dan memicu keprihatinan serta kecaman dari seluruh dunia. Penentangan serupa meletus di bandar udara banyak kota besar lain. Di Chicago, lebih dari 1.000 orang berkumpul di Bandar Udara O'Hare. Di Denver, Colorado, puluhan pemrotes berkumpul di luar bandar udara internasional untuk memperlihatkan dukungan buat pengungsi.

Itu adalah akhir pekan kedua unjuk rasa di Los Angeles setelah Trump diambil sumpahnya. Lebih dari satu juta orang hadir pada akhir pekan sebelumnya untuk mengikuti Women's March.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement