Jumat 03 Feb 2017 19:20 WIB

Pemerintah Pertimbangkan PBB Dikenai Tarif Progresif

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nidia Zuraya
Pajak Bumi dan Bangunan
Foto: wordpress.com
Pajak Bumi dan Bangunan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah masih menyisir jenis pajak tanah yang akan dikenakan skema tarif progresif. Selain tiga opsi yang sudah diusulkan sebelumnya, pemerintah juga akan melihat adanya kemungkinan pemajakan melalui instrumen yang sudah ada seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau Pajak Penghasilan (PPh). 

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan, pihaknya sudah melakukan pembicaraan intensif dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk melihat instrumen perpajakan mana yang sesuai untuk dikenakan tarif progresif. 

"Nanti akan kita lihat konstruksi pajak yang ada untuk memperkuat tujuan tadi. Kita dalam porses diskusi dengan Kementerian ATR," ujar Suahasil di Kementerian Keuangan, Jumat (3/2). 

Pada prinsipnya, lanjut Suahasil, pemerintah mencoba mengambil peluang dari skema progresivitas ini agar tanah bisa digunakan secara produktif. Ia menyebutkan, meski ada tiga opsi skema perpajakan yang sudah diajukan pemerintah, bukan berarti ketiganya akan diterapkan secara bersamaan. 

Teknisnya, lanjut Suahasil, masih dibicarakan opsi mana yang terbaik untuk menekan keinginan orang melakukan spekulasi atas tanah. "Mesti kita lihat. Alat apa yang sekarang kita punya. Kepemilikan kita punya PBB. Caranya PBB tuh begini. PBB juga ada pedesaan, perkotaan, ada perkebunan, pertambangan, kehutanan, ada yang di pemda atau pusat, kita petakan. Kita duduk dengan ATR untuk diskusikan, obyektifnya mau yang mana," jelas Suahasil. 

Sebelumnya Kementerian Koordinator Perekonomian menyodorkan tiga usulan kebijakan untuk mengurangi ketimpangan pajak di Indonesia. Opsi pertama atas pajak tanah idle dilakukan dengan skema progresif berdasarkan kepemilikan tanah. Artinya, semakin luas kepemilikan tanah oleh suatau badan atau pribadi maka pajak yang akan dikenakan kepadanya akan semakin tinggi. 

Sementara opsi kedua adalah capital gain tax, di mana pajak transaksi tanah akan digantikan dengan skema tersebut. Nantinya, pajak akan dikenakan pada nilai tambah dari harga suatau tanah. Menilik contoh kasus yang diberikan oleh Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA), misalnya ada sepetak tanah dengan harga perolehan Rp 100 juta. 

Dalam kurun waktu tertentu tanah ini kemudian dijual dengan harga Rp 500 juta. Artinya ada selisih Rp 400 juta. Angka ini lah yang dipajaki, misalnya 5 persen. Berarti pajaknya 5 persen x Rp 400 juta sebesar Rp 20 juta.

Opsi pajak tanah ketiga adalah unitilized asset tax. Skema ini membuat perusahaan atau pribadi yang memiliki tanah secara luas tanpa memiliki perencanaan yang jelas untuk membayar pajak. Dengan kata lain, akan berlaku pajak "landbank". Prinsipnya, tanah yang tak produktif akan dipajaki.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement