REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat ini, negeri peradaban Islam tersebut sedang bergolak. Konflik berdarah di Mali berawal pada Januari tahun lalu. Pemberontakan bersenjata pecah di bagian utara negara ini di bawah komando kelompok Tuareg.
Mereka menginginkan sebuah negara baru di wilayah Mali Utara bernama Azawad yang berlandaskan Islam. Konflik makin rumit ketika pihak militer melakukan kudeta, sementara Tuareg terus menguasai Mali Utara. Dalam kudeta itu, militer menggulingkan Presiden Mali, Amadou Toumani Toure, karena dianggap tak mampu menangani krisis di Mali Utara tersebut.
Azawad yang merupakan Tanah Air komunitas Tuareg pun berhasil direbut dari tangan pemerintah. Gerakan Nasional Pembebasan Azawad (MNLA) kemudian menyatakan kemerdekaan Azawad pada April 2012. Belakangan, MNLA yang awalnya dibantu kelompok militan, Islamis Ansar Dine, terlibat konflik dengan mitranya tersebut dalam memerintah Azawad. Mereka pun bertempur dan melibatkan Gerakan Persatuan dan Jihad di Afrika Barat (MOJWA) yang merupakan pecahan kelompok Alqaidah.
Kudeta militer ditambah pertempuran MNLA dengan Ansar Dine dan MOJWA, membuat pemerintahan Mali porak poranda. Konflik kian rumit ketika bekas penjajah Mali, yakni Prancis, ikut campur. Januari 2013, militer Prancis menggelar operasi di Mali dengan mengerahkan 3.500 tentara dilengkapi pesawat tempur dan kendaraan lapis baja.
Tak hanya Prancis, Republik Ceska pun berniat mengirim pasukan ke Mali. Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, seperti Inggris, Jerman, Denmark, Kanada, dan Belgia pun ramai-ramai mendukung Prancis. Badan pengungsi PBB, UNHCR, mencatat, lebih dari lima ribu masyarakat Mali mengungsi ke Mauritania sejak Prancis melancarkan operasi. Hingga detik ini, Mali masih bergolak.
Melihal hal ini, sudah sepatutnya negara-negara Islam turun tangan. Mali, negeri peradaban Islam itu, harus diselamatkan.