REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Totok Sugianto menilai negara terlalu jauh masuk dalam mengatur kehidupan demokrasi masyarakat. Hal tersebut merujuk pada rencana pemerintah mensertifikasi khatib.
"Terlalu jauh negara masuk. Agama itu urusan pribadi. Biar masyarakat yang menyeleksi apakah dia layak menjadi penceramah atau tidak, bukan negara yang menentukan," kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Senin (6/2).
Menurutnya, negara tidak perlu mensertifikasi dan menstandardisasi khatib dan ulama. Ia beranggapan, ulama atau khatib bukan pekerjaan yang memerlukan sertifikasi. Rencana itu menurutnya merupakan gaya represif dan otoriter. "Kalau dilihat di era demokrasi sekarang, tak layak lagi," ujar dia.
Menurut Totok, seseorang yang mendapat izin berceramah, artinya sudah mendapat pengakuan dari publik. Ulama berbeda dengan dosen yang harus mempunyai ijazah untuk mengajar.
Ia menilai, sertifikasi dan standardisasi ulama merupakan upaya pembatasan oleh pemerintah. Ia meyakini keamanan negara tidak akan terganggu dengan tidak adanya sertifikasi terhadap ulama.
"Menurut saya ini pembatasan. Negara tak perlu masuk pada hal seperti ini. Kalau begitu, para Romo harusnya juga disertifkasi, para Biksu. Saya yakin tak akan mau, karena itu pembatasan," tutur dia.
Baca Juga: Menag: Sertifikasi Khatib Dibutuhkan.