REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan perlindungan bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menggeser paradigma penempatan TKI di luar negeri menjadi paradigma migrasi.
Paradigma migrasi menempatkan posisi bekerja di luar negeri sebagai hak bagi setiap warga negara. Oleh karenanya, mereka adalah subyek yang bisa menentukan sendiri pekerjaan yang diminatinya di luar negeri, dilandasi kesesuaian dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki.
"Pemerintah mengubah konsep TKI dari objek menjadi subjek. TKI bebas menentukan nasibnya dan pemerintah siap memfasilitasi," kata Menteri Tenaga Kerja M Hanif Dhakiri, Senin (6/2).
Pemerintah menggagas konsep bahwa bekerja di luar negeri adalah hak, sebuah pilihan yang dilakukan secara sadar. Bukan lagi penempatan sehingga pasrah terhadap pilihan-pilihan yang diberikan. "Makanya kita geser menjadi paradigma migrasi. Bekerja di luar negeri adalah hak warga negara dan pemerintah hadir untuk melindungi hak tersebut," jelas Hanif.
Menurut Menaker, kesadaran hak bekerja di luar negeri tersebut harus diimbangi dengan pemahaman tentang profesi dan keterampilan yang akan digeluti di luar negeri. Selain itu, penguasaan terhadap bahasa negara tujuan juga penting untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kerjanya. Ini sebagai self defence capacity bagi TKI itu sendiri.
Pemerintah, Hanif mengatakan, juga terus mengupayakan peningkatan perlindungan TKI dengan berbagai kebijakan. Seperti penghentian dan pelarangan TKI sektor domestik atau pengguna perseorangan di 21 negara Timur Tengah. Yakni Aljazair, Arab Saudi, Bahrain, Irak, Iran, Kuwait, Lebanon, Libya, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Pakistan, Palestina, Qatar, Sudan Selatan, Suriah, Tunisia, UEA, Yaman, dan Yordania.
Menurutnya penghentian penempatan TKI sektor domestik atau pengguna perseorangan di 21 negara tersebut mengingat negara-negara itu belum menunjukan adanya perbaikan tata kelola dalam hal perlindungan TKI.