Selasa 07 Feb 2017 10:57 WIB

Saksi Nelayan Mengaku tak Perhatikan Pidato Ahok

Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjalani sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (31/1).
Foto: Antara
Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjalani sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (31/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaenudin alias Panel bin Adim, saksi fakta yang bekerja sebagai nelayan di Pulang Panggang, Kepulauan Seribu, mengaku tidak memperhatikan pidato Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51.

"Tidak perhatikan, yang perhatikan soal budi daya ikan kerapu," kata Jaenudin menjawab pertanyaan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam lanjutan sidang terdakwa Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (7/2).

Selanjutnya, majelis hakim menanyakan soal apakah dirinya mengetahui dalam rangka apa Ahok melakukan kunjungan ke Kepulauan Seribu. "Budi daya ikan kerapu nanti hasilnya dibagi 80 persen untuk nelayan 20 persen untuk pemerintah, kemudian ada pasar murah sembako," katanya.

Soal apakah dirinya mendengar pidato Ahok dalam kunjangan ke Kepulauan Seribu, ia menyatakan tidak memperhatikan karena jaraknya agak jauh dari tempat Gubernur Ahok berpidato. "Agak jauh, saya duduk jaraknya 4-5 meter," ucap Jaenudin.

Kemudian majelis hakim pun bertanya berapa lama Ahok berpidato dalam kunjungannya tersebut. "Tidak perhatikan," jawab Jaenudin.

Ia pun mengaku bahwa dirinya diundang dalam rangka budi daya ikan kerapu oleh Dinas Perikanan DKI Jakarta. "Yang undang Dinas Perikanan. Undangannya secara lisan. Acaranya budi daya ikan kerapu," ucap Jaenudin.

Selain Jaenudin, Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga dijadwalkan memanggil saksi fakta lainnya yang bekerja sebagai nelayan di Pulau Panggang Kepulauan Seribu, yaitu Sahbudin alias Deni.

Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara. Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement