REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK – Setelah Donald Trump dikukuhkan sebagai presiden Amerika Serikat (AS), Islam kian mengalami stigma. Menurut pemuka Muslim New York, Imam Shamsi Ali, puncak Islamofobia belakangan ini adalah dikeluarkannya Perintah Eksekutif (executive order) yang melarang imigran dari tujuh negara mayoritas Muslim memasuki wilayah AS. Meski akhirnya, aturan tersebut dibatalkan Hakim Tinggi AS.
Namun, bagi Imam Shamsi, masyarakat AS dapat menemukan hikmah di balik dinamika ini. “Barangkali salah satu hikmah terbesar dari hadirnya Donald Trump di kancah perpolitikan Amerika, dengan berbagai konsekuensi buruk itu, adalah tumbuhnya empati dan solidaritas tinggi dari masyarakat Amerika secara luas,” kata Imam Shamsi Ali, Rabu (8/2).
Solidaritas ini mencakup bukan hanya umat Islam, melainkan juga seluruh elemen masyarakat AS yang berseberangan dengan Trump. Di antaranya adalah para pebisnis, akademisi, serta pimpinan agama, termasuk kelompok-kelompok Yahudi.
Imam Shamsi menjelaskan, tren Islamofobia di AS terjadi sejak 2010, ketika Komunitas Muslim New York berencana membangun sebuah Islamic Center dekat Ground Zero (lokasi WTC). Saat itu, lanjut dia, masyarakat AS resah akibat kegiatan debat dengan tema “Radikalisasi Muslim AS” yang digelar Peter King. Waktu itu, King merupakan ketua Komite Keamanan Dalam Negeri (Homeland Security) di Kongres Amerika dari Long Island, New York.
King bahkan melontarkan isu bahwa 70 persen masjid di AS dikelola kelompok radikal. Menyikapi hal tersebut, sejumlah elemen warga AS menilai, retorika King bertentangan dengan nilai-nilai Amerika yaitu keadilan bagi semua, toleransi, dan kebebasan beragama.
Mereka juga mendatangi sejumlah tokoh Muslim, termasuk Imam Shamsi Ali, dan mengusulkan digelarnya demonstrasi bertema “Today, I am a Muslim, Too” (Hari Ini, Saya Juga Seorang Muslim) sebagai bukti solidaritas. Ternyata, aksi massa serupa juga akan digelar untuk menangkis Islamofobia di era Trump kini.