REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara UIN Yogyakarta, Hifdzil Alim, mengatakan status gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) semestinya tidak dijadikan polemik. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) diharapkan dapat segera membuat keputusan terkait status gubernur yang dihadapkan pada status Ahok sebagai terdakwa kasus penistaan agama.
Menurut Hifdzil, teknis mengenai pengembalian status Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta setelah masa cuti berakhir pada 11 Februari mendatang telah ditetapkan sesuai prosedur. Ahok akan kembali menjabat sebagai Gubernur pada 12 Februari.
"Namun, persoalan kontestasi dalam Pilkada DKI menyebabkan teknis itu menjadi rumit. Kontestasi menyebabkan permasalahan merembet ke mana-mana," ujar Hifdzil ketika dikonfirmasi Republika.co.id, Rabu (8/2).
Dia melanjutkan, ada dua kondisi yang bisa terjadi setelah masa cuti Ahok berakhir. Pertama, Ahok kembali bertugas sebagai Gubernur per 12 Januari. Kedua, Kemendagri kembali menunjuk Plt Gubernur untuk menggantikan Ahok. Kondisi ini terkait statusnya sebagai terdakwa dalam kasus penistaan agama.
"Apa pun putusan yang ditetapkan nantinya, yang perlu diperhatikan adalah jalan tengah bagaimana pengawasan Kemendagri terhadap jalannya pemerintahan di DKI Jakarta terkait status gubernurnya. Jika saat ini Mendagri menjaring masukan dari beberapa pihak sebelum mengambil keputusan, saya kira konteksnya terkait dengan proses pengawasan itu," ucap dia.
Sebelumnya, Dirjen Otonomi Daerah (Otda), Kemendagri, Sumarsono, mengatakan status Ahok, masih dalam proses biro hukum. "Prosesnya sedang diolah biro hukum. Tetapi intinya Pak Ahok kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 12 Februari. Tanggal 11 Februari sore serah terima sama saya," ujar Sumarsono, Selasa (7/2).
Ahok dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Syaiful Hidayat, dinonaktifkan pada 28 Oktober 2016. Keduanya mengambil cuti untuk mengikuti kampanye sebagai cagub-cawagub DKI Jakarta.