REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Secara gamblang dalam Alquran disebutkan bahwa Sang Khalik telah menunjuk Nabi SAW sebagai seorang hakim. Penunjukan itu tercantum dalam surah An-Nisa' [4] ayat 61, 65, dan 105; surah As-Syura' [42] ayat 15; dan surah An-Nur ayat [24] 51.
Surah An-Nur [24] ayat 51 menunjukkan bahwa posisinya sebagai hakim tidak terpisahkan dari posisinya sebagai rasul. Beliau bertindak sebagai hakim sekaligus utusan Allah SWT.
Nabi Muhammad SAW diakui sejarah sebagai penggagas hukum yang paling besar karena beliau tidak saja menghakimi kasus secara adil dan imparsial, tetapi juga menetapkan asas hukum yang universal dan seimbang bagi seluruh umat manusia.
Tentu saja meliputi seluruh aspek kehidupan: perlindungan hidup, harta benda, kehormatan, dan melindungi hak-hak pribadi, sosial, legal, sipil dan beragama setiap individu. Apa pun peran yang beliau jalankan dalam kapasitasnya sebagai legislator merupakan teladan abadi yang menunjukkan kebesaran dan keadilannya bagi seluruh generasi mendatang.
Muhammad SAW menegaskan bahwa hukum Allah bersifat universal dalam maslahat dan lingkupnya, imparsial dan adil dalam penerapannya, serta abadi sifatnya. Karenanya, beliau menekankan bahwa hukum tersebut harus berada di atas seluruh hukum dan peraturan buatan manusia.
Rasulullah mengajarkan bahwa seluruh manusia harus memasrahkan, baik secara individu maupun bersama-sama, seluruh hak dan pembuatan hukum kepada-Nya. Sebab, manusia tidak diberi hak membuat hukum apa pun tanpa wewenang-Nya.
Sebagai manusia, Nabi Muhammad SAW pun tunduk pada kedaulatan Ilahi seperti manusia lainnya. Karena itu, beliau tidak memiliki hak untuk memerintah orang-orang menurut kemauannya sendiri agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Afzalur Rahman dalam Ensiklopedi Muhammad Sebagai Hakim, menerangkan, dalam menegakkan aturan hukum, Nabi SAW selalu mengacu kepada sistem hukum bahwa Allah SWT merupakan sumber seluruh hukum. Seluruh dasar hukum Islam adalah bahwa Tuhan sajalah pemegang kedaulatan dan kekuasaan yang sejati, sedangkan manusia bertindak sebagai perwakilan-Nya atau khalifah-Nya di muka bumi.
Nabi Muhammad dengan jelas telah menggambarkan aspek hukum Islam melalui banyak cara. Beliau menegaskan kewajiban umat Islam untuk menaati Alquran. Kemudian, tentang posisi Sunah di hadapan Alquran, Nabi menyatakan, Perintahku tidak dapat membatalkan perintah Allah, namun perintah Allah dapat membatalkan perintahku.” (HR Daruquthni).
Legislator Islam pertama
Di dalam kitab suci Alquran terdapat sejumlah ayat yang terkait dengan masalah hukum. Ayat-ayat tersebut meliputi masalah waris, pernikahan, mahar, perceraian, gratifikasi (pemberian hadiah), wasiat, jual beli, perlindungan, jaminan dan pidana.
Namun, di dunia yang senantiasa berubah dan berkembang, beberapa masalah hukum ini tidak bisa mencakup seluruh situasi dan masalah-masalah baru. Karenanya, Alquran telah memerintahkan kepada para legislator di masa depan untuk menyusun hukum-hukum sesuai dengan kebutuhan waktu dan tempat di bawah arahan prinsip-prinsip dasar Islam, memastikan semuanya sesuai dengan semangat hukum Islam, dan tidak melanggar prinsip-prinsip dasarnya.
Dalam hal ini, Nabi SAW adalah legislator Islam pertama. Beliau menafsirkan hukum Alquran dan memberikan komentar terhadapnya dan menjelaskan tata cara penerapan Alquran ke dalam masalah-masalah praktis kehidupan. Beliau tidak bisa mengganti atau mengubah hukum Ilahi mana pun yang terkandung dalam Alquran. Beliau bertindak hanya sebagai penafsir dan komentator, kemudian menerapkannya dalam beragam situasi.