Rabu 08 Feb 2017 18:31 WIB

‎Standardisasi Dai Dinilai tidak Masuk Akal

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Agung Sasongko
 Ribuan warga melaksanakan Shalat Subuh Berjamaah di Masjid Pusat Dakwah Islam (Pusdai) Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (12/12).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Ribuan warga melaksanakan Shalat Subuh Berjamaah di Masjid Pusat Dakwah Islam (Pusdai) Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (12/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi VIII DPR RI menilai standardisasi penceramah atau dai merupakan sesuatu yang tidak masuk akal (absurd). Pasalnya kebebasan dai menyampaikan isi ceramah akan terhalang oleh standardisasi tersebut.

Anggota Komisi VIII DPR RI Khatibul Umam Wiranu mengatakan Kementerian Agama tidak berwenang masuk dalam wilayah tersebut. Kemenag hendaknya membina organisasi keagamaan di mana masyarakat terlibat di dalamnya. Bukan untuk menetapkan standard penceramah.

"Kalau ini tetap dilakukan, maka harusnya standardisasi juga berlaku untuk seluruh agama, tidak cuma Islam agar tidak menimbulkan aspek negatif," ujarnya di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (8/2).

Beberapa waktu lalu, Menteri Agama menjelaskan kepada Komisi VIII tentang adanya standardisasi pengkutbah saat Shalat Jumat dan juga materi khutbah. Namun rencana ini pun dinilainya kurang tepat. Apalagi saat ini ada informasi mengenai pencatatan nama-nama ulama oleh kepolisian.

"Ini preseden buruk kalau dibikin standard khutbah, kalau isi tidak sesuai lalu ditangkap? Ini bahaya untuk umat kalau tidak hati-hati Pak Menteri. Apolitik. (tidak melihat dampak politik)," kata dia.

Menag menyampaikan bahwa standardisasi tersebut dimaksudkan agar seseorang tidak sembarangan memberikan ceramah keagamaan. Politikus dari Partai Demokrat menyebut kemampuan seseorang untuk memberikan ceramah dilihat dari latar belakang pendidikan dan moralitasnya. Namun bukan berarti harus ada standardisasi. "Yang penting, penceramah mengajak jamaah untuk bertakwa kepada Allah SWT dan menghindari larangan-Nya," ujar Khatibul.

Dia menilai imbauan agar penceramah menghindari materi bermuatan politik kurang tepat. "Karena khutbah //kan// juga untuk mengajak pemimpin politik melakukan kebaikan. Ini lucu, mengada-ada, pemerintah panik karena Islam mulai berani (menyampaikan aspirasinya)," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement