Rabu 08 Feb 2017 20:51 WIB

Cina: AS Perlu Asah Pengetahuannya tentang Sejarah Laut Cina Selatan

Kapal keruk Cina terlihat di perairan sekitar Karang Mischief di Kepulauan Spartly, Laut Cina Selatan. Cina diduga sedang membangun landasan udara ketiga.
Foto: reuters
Kapal keruk Cina terlihat di perairan sekitar Karang Mischief di Kepulauan Spartly, Laut Cina Selatan. Cina diduga sedang membangun landasan udara ketiga.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Amerika Serikat perlu mengasah pengetahuannya mengenai sejarah Laut Cina Selatan karena seluruh wilayah Cina yang direbut Jepang telah dikembalikan, kata Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi di Australia.

Pengembalian itu dilakukan sesuai dengan perjanjian pasca-Perang Dunia II, tambahnya. Cina dibuat geram oleh pemerintahan baru AS, khususnya terkait masalah di Laut Cina Selatan.

Dalam sidang uji kepatutannya di Senat, Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson mengatakan akses Cina ke pulau buatannya di Laut Cina Selatan mesti ditutup. Gedung Putih juga berjanji menjaga wilayah internasional di perairan strategis tersebut.

Namun, Menteri Pertahanan AS Jim Mattis pada pekan lalu menyarankan jalur diplomasi lebih diutamakan untuk menyelesaikan sengketa di Laut Cina Selatan. Dalam laman Kementerian Luar Negeri Cina, Wang memberi saran untuk temannya, warga AS.

"Asah pengetahuan kalian tentang sejarah Perang Dunia II," kata Wang saat mengunjungi Canberra, Australia, sebagaimana dikutip laman kementerian itu.

Baca: 'Jika AS-Cina Berkonflik, Kedua Negara akan Kalah'

Deklarasi Kairo 1943 dan Postdam 1945 menyebut dengan jelas Jepang harus mengembalikan seluruh wilayah Cina yang didudukinya. "Wilayah dimaksud termasuk Kepulauan Nansha," tambahnya merujuk ke kawasan dikenal dengan nama Kepulauan Spratly.

"Pemerintah Cina pada 1946 dengan bantuan AS mengambil alih kembali Kepulauan Nansha dan gugus karang di sekitarnya dari Jepang serta melanjutkan kedaulatan negeri itu sesuai dengan hukum," kata Wang.

"Namun, setelahnya, sejumlah negara di sekitar Cina menggunakan cara tidak sah untuk menduduki karang dan kepulauan Nansha. Hal itu kemudian menjadi sengketa di Laut Cina Selatan," tambahnya.

Cina bersedia membahas masalah di Laut Cina Selatan sesuai dengan fakta sejarah dan hukum internasional bersama pihak yang berkonflik langsung. Pemerintah Cina hanya ingin menyelesaikan permasalahan itu dengan damai, dan posisi tersebut tidak akan berubah.

Negara di luar kawasan mestinya mendukung komitmen pemerintah Cina dan pihak lain untuk menjaga perdamaian serta stabilitas di Laut China Selatan, dan tidak melakukan hal sebaliknya. Sebelumnya, Cina menyambut pernyataan Mattis, yang menyarankan agar diplomasi lebih dikedepankan untuk mengatasi konflik.

Wang mengatakan jalur diplomasi merupakan sikap yang dipilih Cina dan negara kawasan Asia Tenggara, bahkan langkah itu merupakan "pilihan tepat" untuk pihak di luar wilayah konflik. Cina mendaku sebagian besar wilayah Laut China Selatan. Namun, Taiwan, Malaysia, Vietnam, Brunei, juga Filipina turut mengakui sebagian wilayah perairan itu, yang menjadi jalur dagang strategis serta memiliki banyak sumber daya ikan, cadangan gas dan minyak.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement