REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Rencana kepolisian yang akan melakukan pendataan ulama seperti tertulis dalam surat telegram (ST) Polda Jatim pada 30 Januari 2017 lalu masih menimbulkan tanda tanya di masyarakat. Komnas HAM menilai cara ini bisa menimbulkan ketakutan publik.
Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution mengatakan untuk menghindari polemik, pemerintahan Jokowi-JK khususnya Kepolisian sebaiknya, menjelaskan ke publik agenda sesungguhnya dari kebijakan tersebut. Agar modal sosial kepolisian negara tidak semakin mengurangi kepercayaan publik. Karena, menurut Manajer modal sosial dan kepercayaan publik tersebut sangat dibutuhkan dalam menghadapi situasi negara seperti sekarang ini.
Komnas HAM pun mengimbau agar kepolisian mengevaluasi dan mempertimbangkan mencabut kebijakan tersebut, serta menghentikan hal-hal yg kontraproduktif seperti yang terjadi di wilayah hukum Polda Jatim.
"ST itu menimbulkan syiar ketakutan publik," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (8/2). Manager mengingatkan ingatan publik bisa kembali terbawa pada peristiwa "pembunuhan" terhadap "dukun santet" di Jatim beberapa tahun lalu. Saat itu antara lain juga didahului dengan adanya pendataan guru-guru ngaji.
"Kita tentu masih berusaha menghadirkan keyakinan dan berharap bahwa tidak ada irisan dan tidak mengkloning pola-pola tersebut," katanya.
Manager pun menegaskan agar kepolisian juga sebaiknya menjelaskan ke publik bahwa pendataan tersebut tidak diskriminatif. Apakah pendataan itu hanya terhadap tokoh-tokoh agama tertentu saja. "Bagaimana kalau hal yang sama terjadi juga terhadap pastur, pendeta, bhiksu/biksu, pandita dan kongchu? Bukankah ini menebar keresahan dan syiar ketakutan publik?," terang Manager.
Karena itu, ia meminta kepolisian harus menjelaskan apakah hal tersebut kewenangan polisi juga. Lalu bagaimana koordinasi dengan peran Kementerian Agama, itu beberapa pertanyaan publik. Dan publik, menurutnya berhak mendapat penjelasan yang terang benderang terkait informasi-informasi itu.